FAT REALITY:
Brutal tapi Rapi
oleh : Anton Rais Makoginta
Jogja-Jakarta tahun 2011 lalu Wahyuddin
Nafilah Dias Prabu [panggil—Dias] mempresentasikan karya dalam project “So Fat
So Good”, seluruh karyanya dipenuhi dengan figur-figur gendut. Tahun sekarang
dia kembali mengetengahkan figur gendut, dikemas dalam pameran “Realita Figur
Gendut”.
Kok saya merasa dia begitu “ngeyel”
mempertahankan figur tersebut, sama ngototnya ketika dia mengatakan “so good”
bagi tubuh gendut pada pameran nan lalu. Masih adakah hal yang penting ingin
dia sampaikan?
Namun membaca dari judul pamerannya sekarang,
dia menambahkan realita-realita yang dibangun melalui realitas sebenarnya
ataupun berdasarkan imajinasinya. Ada hal-hal yang tidak begitu subjektif dia
kembangkan di sini, yaitu atas penangkapan realita sebenarnya. Saya pikir
keobjektifan ini lah nilai penting melaksanakan pameran tersebut.
Nah, itu baru pembeda dengan pameran
sebelumnya, tapi saya akan mencari lagi hubungannya [pembeda] dengan seniman
terdahulu yang telah menggunakan figur gendut. “Two Women Running Along the Bach” 1922, salah satu karya Pablo
Picasso menggunakan figur gendut.
Picasso's faintly coloured women running along the beach which, in their
stylisation, recall Ingres or even the early art of Greece, despite this same
stylisation and despite their apparently spaceless surroundings, look extremely
physical and lively.[1]
Beberapa seniman dari Jerman; Heinrich Hoerle
melalui karya “The Contemporaries”
1931, Richard Linder “The Meeting”
1953[MoMA]. Mereka menggunakan figur-figur gendut yang telah distilisasi, masih
ada seniman lainnya. Namun, yang intens dari awal-awal perjalanan berkarya
adalah Fernando Botero (b, Medellin Colombia,1932).
Why does Botero paint fat people? "No, I
don't paint fat people", itulah jawaban Botero sendiri, karena dia bukan
seniman realis tapi figuratif; “Botero is
a figurative painter, but not a realistic one. His pictures are geared to
reality, but do not depict it. Everything in his pictures is voluminous; the
banana, the light bulb, the palm tree, the animals, and of course men and
women. Botero is not concerned to paint particular things, for example fat men
or fat women, but rather to use transformation or deformation as means of
transforming reality into art”[2]
Jika pertanyaan ditujukan terhadap Dias tentu
jawabannya “ yes, I do paint fat people”.
Jelas ada perbedaan yang signifikan antara seniman terdahulu dengan Dias
yang memang sama mendeformasi bentuk, akan tetapi dia mengambil realita dari
tubuh gendut serta membangun realita-realita baru berdasarkan imajinasinya
sebagai tubuh gendut sendiri.
***
Secara artistik sangat jauh berbeda lagi,
pada karya Dias menggunakan warna-warni, semacam warna yang dipakai oleh
seniman pop-art atau lebih tepatnya warna yang sering menghiasi seniman
pop-surealisme, merupakan pergerakan seni underground yang sering disebut
dengan “Lowbrow Art”. Pergerakan ini
diprakarsai oleh Robert William—melalui majalahnya Juxtapoz 1994 publis pertama
di Amerika.
Pop-surealisme, penggabungan dua aliran yang
pernah ada sebelumnya, yaitu pop art dan surealisme. Pop art sering disebut
juga dengan “neo dada”, artinya mengusung konsep ready made. Sementara
surealisme melalui penekanan dari Sigmund Freud “the dream world became extremely important to the surrealists”[3].
Penggunaan ready made dan alam mimpi sangat penting bagi seni lowbrow, dengan
kata lain adanya narasi dengan benda keseharian berdasarkan realita maupun
imaji realita.
Tak dapaat kita sangkal juga kebiasaan
ataupun keharusan seniman lowbrow membawa cerita berkenaan atas pandangannya
terhadap masyarakat, sering merupakan kritikal untuk politik, sosial, agama,
kebudayaan, fesyen, dlsb.
Saya lebih menekankan pada sisi sosial yang terjadi
pada masyarakat baik di Indonesia, maupun fenomena sosial yang terjadi di
dunia. Tema yang dihadirkan lebih terfokus dengan masalah sosial yang kadang
sering terjadi di sekeliling kita, namun jarang diperhatikan. Beberapa
contohnya ialah, tema percintaan anak muda pada masa kini, kemudian mengenai
masalah figur gendut yang tak bisa membendung hasrat untuk selalu makan
melebihi takaran normal.(Dias)[4].
Dias me-elaborasi figur-figur
gendut dengan konteks sosial secara satirikal, lucu, kritikal, sadis ataupun
sinis. Baik hubungan antara figur dengan figur lainnya serta figur dengan
narasi secara keseluruhan.
***
‘Over
Weight’ merupakan cara penyampaian dengan jenaka, kita dapat melihatnya
dari monster-monster yang keluar dari tubuh. Namun mengandung satirikal
terhadap tubuh itu sendiri, tubuh yang tidak mau mengerti atau tak peduli akan
efek beberapa jenis makanan—dalam hal ini “junkfood”.
Terlihat bagaimana Dias mengejawantahkan realita sesungguhnya serta
mengkonstruksi sebuah realita atas kegemukan seseorang yang bisa kita katakan
obesitas.
Realita pola hidup masyarakat [kita]
kontemporer menjadi wilayah yang mengundang reaksi-reaksi kritis -- terutama
dari seniman lowbrow. Pola-pola yang mengkonsumsi tanpa memikirkan manfaat
beserta kemungkinan terburuk yang akan diterima.
Memang sudah ada beberapa kajian dari
orang-orang terdahulu, misalnya Baudrillard. Kendati demikian, pembangunan
realita baru dengan penyampaian jenaka Dias menjadi hal yang penting di sini.
Estetika timur[?] muncul – orang dicaci tapi senang – orang dicuri tapi tidak
merasa kehilangan – “brutal tapi rapi”.
‘Forever
Rich’ kita
bisa melihat beberapa figur telah dibungkus dengan kain putih, bagaikan
kebiasaan sebagian masyarakat mengawetkan tubuh dalam peti jenazah—lengkap
dengan berbagai aksesoris atau tanda hak miliknya. Melalui karya ini Dias
mencoba masuk pada wilayah kebiasaan suatu budaya/agama tertentu.
Namun tunggu dulu! Jangan terlalu cepat
percaya atas kesimpulan yang saya buat.
Tadi kita telah menangkap bahwa seni lowbrow
kadangkala menyampaikan secara satirikal—termasuk Dias. Bisa saja itu merupakan
kiasan bagi masyarakat yang bertubuh gemuk, ketika menyadari kelebihan dari
kondisi tubuhnya. Misalnya, seorang sumo, ataupun model yang menuntut tubuh
gemuk. Artinya kegemukan tersebut bisa dibawa ke arah yang bermanfaat. Dalam
hal ini Dias memberikan tawaran-tawaran pada kita untuk membangun realita
kebertubuhan sesuai dengan porsi masing-masing.
Mencermati
dan mengamati pameran Dias ini, kita bukan hanya melihat kemampuan
teknis membentuk komposisi artistik yang berkemungkinan kita tangkap; ada semacam
kelucuan, kengerian atau perasaan apapun yang timbul. Hal yang penting
kemampuan seniman mengeksplorasi kesingkronan antara karya dengan masyarakat
[kultur-sosial] sekarang. Pengungkapan realita masyarakat dalam karya seni
rupa, serta membuat suatu realita berdasarkan imajinasi seniman yang sesuai
dengan spirit kita bersama.
Saya [mudah-mudahan kita] menunggu
pengungkapan realita Dias dalam bentuk artistik yang lain nantinya.
[1]
Anna C. Krausse, The Story Of Painting
from the renaissance to the present: Pablo Picasso, Konemann:Germany,
pp.92-93
[2]
Mariana Hanstein, Botero, Taschen:Amerika,
p.49
[3]
Anna C. Krausse, ibid, p.101
[4]
Terdapat dalam rancangan laporan tugas akhir Dias Prabu, mengenai tema karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar