Sabtu, 25 Agustus 2012

FAT REALITY: Brutal tapi Rapi

FAT REALITY: Brutal tapi Rapi

oleh : Anton Rais Makoginta

Jogja-Jakarta tahun 2011 lalu Wahyuddin Nafilah Dias Prabu [panggil—Dias] mempresentasikan karya dalam project “So Fat So Good”, seluruh karyanya dipenuhi dengan figur-figur gendut. Tahun sekarang dia kembali mengetengahkan figur gendut, dikemas dalam pameran “Realita Figur Gendut”.
Kok saya merasa dia begitu “ngeyel” mempertahankan figur tersebut, sama ngototnya ketika dia mengatakan “so good” bagi tubuh gendut pada pameran nan lalu. Masih adakah hal yang penting ingin dia sampaikan?
Namun membaca dari judul pamerannya sekarang, dia menambahkan realita-realita yang dibangun melalui realitas sebenarnya ataupun berdasarkan imajinasinya. Ada hal-hal yang tidak begitu subjektif dia kembangkan di sini, yaitu atas penangkapan realita sebenarnya. Saya pikir keobjektifan ini lah nilai penting melaksanakan pameran tersebut.
Nah, itu baru pembeda dengan pameran sebelumnya, tapi saya akan mencari lagi hubungannya [pembeda] dengan seniman terdahulu yang telah menggunakan figur gendut. “Two Women Running Along the Bach” 1922, salah satu karya Pablo Picasso menggunakan figur gendut. Picasso's faintly coloured women running along the beach which, in their stylisation, recall Ingres or even the early art of Greece, despite this same stylisation and despite their apparently spaceless surroundings, look extremely physical and lively.[1]
Beberapa seniman dari Jerman; Heinrich Hoerle melalui karya “The Contemporaries” 1931, Richard Linder “The Meeting” 1953[MoMA]. Mereka menggunakan figur-figur gendut yang telah distilisasi, masih ada seniman lainnya. Namun, yang intens dari awal-awal perjalanan berkarya adalah Fernando Botero (b, Medellin Colombia,1932).
Why does Botero paint fat people? "No, I don't paint fat people", itulah jawaban Botero sendiri, karena dia bukan seniman realis tapi figuratif; “Botero is a figurative painter, but not a realistic one. His pictures are geared to reality, but do not depict it. Everything in his pictures is voluminous; the banana, the light bulb, the palm tree, the animals, and of course men and women. Botero is not concerned to paint particular things, for example fat men or fat women, but rather to use transformation or deformation as means of transforming reality into art”[2]
Jika pertanyaan ditujukan terhadap Dias tentu jawabannya “ yes, I do paint fat people”. Jelas ada perbedaan yang signifikan antara seniman terdahulu dengan Dias yang memang sama mendeformasi bentuk, akan tetapi dia mengambil realita dari tubuh gendut serta membangun realita-realita baru berdasarkan imajinasinya sebagai tubuh gendut sendiri.
***
Secara artistik sangat jauh berbeda lagi, pada karya Dias menggunakan warna-warni, semacam warna yang dipakai oleh seniman pop-art atau lebih tepatnya warna yang sering menghiasi seniman pop-surealisme, merupakan pergerakan seni underground yang sering disebut dengan “Lowbrow Art”. Pergerakan ini diprakarsai oleh Robert William—melalui majalahnya Juxtapoz 1994 publis pertama di Amerika.
Pop-surealisme, penggabungan dua aliran yang pernah ada sebelumnya, yaitu pop art dan surealisme. Pop art sering disebut juga dengan “neo dada”, artinya mengusung konsep ready made. Sementara surealisme melalui penekanan dari Sigmund Freud “the dream world became extremely important to the surrealists[3]. Penggunaan ready made dan alam mimpi sangat penting bagi seni lowbrow, dengan kata lain adanya narasi dengan benda keseharian berdasarkan realita maupun imaji realita.
Tak dapaat kita sangkal juga kebiasaan ataupun keharusan seniman lowbrow membawa cerita berkenaan atas pandangannya terhadap masyarakat, sering merupakan kritikal untuk politik, sosial, agama, kebudayaan, fesyen, dlsb.
Saya lebih menekankan pada sisi sosial yang terjadi pada masyarakat baik di Indonesia, maupun fenomena sosial yang terjadi di dunia. Tema yang dihadirkan lebih terfokus dengan masalah sosial yang kadang sering terjadi di sekeliling kita, namun jarang diperhatikan. Beberapa contohnya ialah, tema percintaan anak muda pada masa kini, kemudian mengenai masalah figur gendut yang tak bisa membendung hasrat untuk selalu makan melebihi takaran normal.(Dias)[4].
Dias me-elaborasi figur-figur gendut dengan konteks sosial secara satirikal, lucu, kritikal, sadis ataupun sinis. Baik hubungan antara figur dengan figur lainnya serta figur dengan narasi secara keseluruhan.
***
Over Weight’ merupakan cara penyampaian dengan jenaka, kita dapat melihatnya dari monster-monster yang keluar dari tubuh. Namun mengandung satirikal terhadap tubuh itu sendiri, tubuh yang tidak mau mengerti atau tak peduli akan efek beberapa jenis makanan—dalam hal ini “junkfood”. Terlihat bagaimana Dias mengejawantahkan realita sesungguhnya serta mengkonstruksi sebuah realita atas kegemukan seseorang yang bisa kita katakan obesitas.

Realita pola hidup masyarakat [kita] kontemporer menjadi wilayah yang mengundang reaksi-reaksi kritis -- terutama dari seniman lowbrow. Pola-pola yang mengkonsumsi tanpa memikirkan manfaat beserta kemungkinan terburuk yang akan diterima.
Memang sudah ada beberapa kajian dari orang-orang terdahulu, misalnya Baudrillard. Kendati demikian, pembangunan realita baru dengan penyampaian jenaka Dias menjadi hal yang penting di sini. Estetika timur[?] muncul – orang dicaci tapi senang – orang dicuri tapi tidak merasa kehilangan – “brutal tapi rapi”.
‘Forever Rich’ kita bisa melihat beberapa figur telah dibungkus dengan kain putih, bagaikan kebiasaan sebagian masyarakat mengawetkan tubuh dalam peti jenazah—lengkap dengan berbagai aksesoris atau tanda hak miliknya. Melalui karya ini Dias mencoba masuk pada wilayah kebiasaan suatu budaya/agama tertentu.

Namun tunggu dulu! Jangan terlalu cepat percaya atas kesimpulan yang saya buat.
Tadi kita telah menangkap bahwa seni lowbrow kadangkala menyampaikan secara satirikal—termasuk Dias. Bisa saja itu merupakan kiasan bagi masyarakat yang bertubuh gemuk, ketika menyadari kelebihan dari kondisi tubuhnya. Misalnya, seorang sumo, ataupun model yang menuntut tubuh gemuk. Artinya kegemukan tersebut bisa dibawa ke arah yang bermanfaat. Dalam hal ini Dias memberikan tawaran-tawaran pada kita untuk membangun realita kebertubuhan sesuai dengan porsi masing-masing.
Mencermati  dan mengamati pameran Dias ini, kita bukan hanya melihat kemampuan teknis membentuk komposisi artistik yang berkemungkinan kita tangkap; ada semacam kelucuan, kengerian atau perasaan apapun yang timbul. Hal yang penting kemampuan seniman mengeksplorasi kesingkronan antara karya dengan masyarakat [kultur-sosial] sekarang. Pengungkapan realita masyarakat dalam karya seni rupa, serta membuat suatu realita berdasarkan imajinasi seniman yang sesuai dengan spirit kita bersama.
Saya [mudah-mudahan kita] menunggu pengungkapan realita Dias dalam bentuk artistik yang lain nantinya.



[1] Anna C. Krausse, The Story Of Painting from the renaissance to the present: Pablo Picasso, Konemann:Germany, pp.92-93
[2] Mariana Hanstein, Botero, Taschen:Amerika, p.49
[3] Anna C. Krausse, ibid, p.101
[4] Terdapat dalam rancangan laporan tugas akhir Dias Prabu, mengenai tema karya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman