oleh : Anton Rais Makoginta
Menyontoh apa yang dikerjakan ibu sangat wajar bagi bayi
yang baru lahir, kadang kala setelah dewasa bisa jadi berbeda ataupun malahan
[mungkin] sama dengan ibunya. Dan sangat mengherankan jika orang di generasi
berbeda (Ibu-Anak) bisa persis sama di zaman yang berbeda pula. Begitu juga
ketika kita memasuki “dunia baru” lainnya. Senirupa misalnya, awal-awal
mengenal senirupa menyontoh sang guru serta seniman lainnya saya rasa sangat
wajar, setelah dijalani beberapa tahun masih menyontoh berarti ada yang salah
dengan perkembangan kesenian seniman tersebut.
Untuk itu saya sedikit melacak jejak perkembangan seniman
perempuan selama ini, saya melihat ada kecenderungan mengikuti arus pemikiran
fenomena feminist. Jenny Saville (b;1970) salah satunya sebagai perupa
portraiture perempuan, mengaji tubuh berdasarkan pandangan feminist dengan
penggambaran tubuh perempuan yang “dirusak” sehingga menimbulkan kesan jijik
atau menakutkan. Walaupun kerjanya kurang lebih sama dengan Cindy Sherman (b;1954)—secara
konsep—lebih dahulu dari Saville. This
may in part be a feminist phenomenon, a reaction againts centuries of painting
the female nude by men for the delection of other men. Obesity is the shock
tactic she uses to force viewers into an examination of convetional notions of
female beauty. Concepts relating to desired streotypes of the female beauty…
[1]
Serta jejak seniman dan sastrawati [perempuan] di Indonesia
tetap berdasarkan perspektif perempuan juga (persoalan gender); Nh. Dini,
Djenar Mahesa Ayu, Tita Rubi, I G K Murniasih, Arahmaini , Bunga Jeruk, Laksmi
Shitaresmi, dan masih banyak perempuan lainnya. Seniman tersebut ada yang masih
berlanjut sampai sekarang membahas gender serta ada pula dalam bentuk lain.
Fika Ria Santika (panggil--Pika), mencoba untuk tidak
mengikuti arus yang telah dibentuk oleh seniman perempuan [gender] sebelumnya.
Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi saya, apakah dia hanya sekedar tidak mau
mengikuti arus utama (mainstream) bikinan seniman perempuan sebelumnya? Atau ada
faktor lain yang membuat dia tidak ingin berbicara perihal gender dari
perspektif dia sebagai perempuan?
Ada perlunya kita mengenal Pika terlebih dahulu, guna
mencari faktor yang membuat dia tidak ikut larut dalam persoalan gender
tersebut dan nantinya turut membentuk pemikiran serta strategi visual karyanya.
Pika dua tahun belakangan ini berkarya di Jogja (sambil kuliah di ISI), dulunya
lahir dan besar di Minangkabau, saya mengetahui di sana kebudayaan dengan
sistem matriakat telah menyatu dengan kedatangan beberapa agama yang
berdasarkan patriakat, terakhir agama Islam yang mampu selaras dengan
kebudayaan setempat [dialami oleh Pika].
Jadi kebudayaan dan agamanya telah membentuk kesetaraan
(equality) gender di sana, dengan kata lain dia tidak mengalami perlakuan-perlakuan
terhadap perempuan seperti umumnya perempuan [saya sebutkan sebelumnya] yang
besar dalam kebudayaan patriakat dan agama patriakat juga. Dia pernah bercerita
pada saya: pernah melihat laki-laki bekerja di dapur [bukti—rumah masakan
Padang yang memasak adalah laki-laki—tentunya belajar di rumah dahulu], melihat
ibuk-ibuk membawa cangkul pergi ke sawah, mengetahui seorang perempuan jadi
pemimpin perang melawan penjajah [Rasuna Said], pernah membaca tentang seniman
perempuan patung pertama [Huriah Adam--karyanya monumen di kota Bukittinggi],
dia ikut mendaki gunung bersama teman laki-lakinya dengan sepengetahuan orang
di sekitarnya. Intinya, dia menyadari kodrat perempuan bukan hasil dari
streotipe-streotipe bentukan kaum-kaum patriakat dan tidak pernah
merasa/mengalami “ketersudutan’ karena jenis kelaminnya.
Karena Pika tumbuh /besar di wilayah yang telah terbentuk
equality gender sejak sebelum RA Kartini muncul inilah yang membuat dia merasa
tidak ada kepentingannya membicarakan persoalan gender lagi, bukan hanya
sekedar tidak mau mengikuti arus seniman perempuan lainnya. Selain dia telah
merasa tidak ada kepentingannya terhadap isu feminist (sosio-cultural). Agamapun
juga bukan, karena dia merasa dalam agamanya siapa yang tidak mengerti kepintaran
Muhammad SAW—jauh lebih cerdas dari Pika, ketidak pentingannya muncul lagi.
Kendati demikian, apakah sebagai seniman dalam pemilihan
konsep berkarya harus yang dialami saja? Tentu tidak, banyak seniman selain hal
empirikal juga berdasarkan ketertarikan terhadap suatu fenomena tertentu--empati,
dan berbagai macam banyak alasannya, tak terkecuali seniman-seniman saya
sebutkan sebelumnya. Sebagai misal lain, Andy Warhol, however art critics rightly see deeper meaning in Warhol’s work. In
many respects this art can tell us more about the psychological satate of
society of mass media and mass production than any amount of socoliogical
research.[2]
Dia lebih melihat kondisi psycologis masyarakat serta penggambaran
bagaimana mass media memproduksi imej-imej, dengan power of repetition mengungkapkan tangannya bisa juga bekerja
seperti mesin-mesin mass media tersebut. Contoh lainnya, setiap negara yang
terjajah perkembangan senirupa modernnya dimulai dengan issue-issue
Nasionalisme, termasuk Indonesia.
Semuanya menutut kecerdasan dan kemampuan seniman untuk
memilih—apalagi seniman saat ini yang hidup pada masa ‘sisa-sisa’ moyangnya…
***
Bagaimana dengan pilihan Pika?
Pengalaman hidupnya turut membentuk dia untuk memilih, hidup
dari sistem kebudayaan matriakat yang minoritas di dunia, pilihan musik yang
minoritas. Ketika teman-teman seumuranya memilih mendengarkan Lady Gaga, dia
malah mendengarkan Bjork, lebih memilih Frau daripada melly Guslow, apalagi
Efek Rumah Kaca ketika Samsons booming, begitu seterusnya. Hal-hal ini jugalah
yang membuat dia tidak tertarik pada suatu yang ideal (baca-mainstream).
Saya memilih keadaan tidak ideal dalam
landasan pemikiran, karena hal-hal ideal telah ‘menjajah’ yang tidak ideal dan
sering dianggap tidak penting (besar hendak menindih). Pada dasarnya cap
tersebut cuma bentukan manusia. (Pika)[3]
Fight or Flight--Hadapi
atau kabur, reaksi ini yang saya rasa cocok dengan pilihan Pika. ketika lukisan
telah menjadi ‘mainstream’ dalam senirupa, dia menghadapi (counter) dengan
lukisan tidak memilih (kabur) dengan media lain, di sisi lain video art (new
media) sudah mulai menjamur dia juga berbicara melalui video tersebut. Saat ini
jika kita melacak kecendrungan seniman Indonesia menggunakan pengucapan realis
dia tidak meninggalkan kemampuan ‘realisnya’. Juga, bahasa non-representatif
dia juga menggunakannya. Pengucapan tersebutlah yang dikombinasikan dalam
karyanya.
Terserah apa pilihan medium seniman
yang terpenting konsepnya bisa tertuang. Jika dikatakan lukisan dibuat oleh
seniman “penghibur dunia” atau seniman “selebritas”, lukisan tidak
kontemporer—tapi kok ada lukisan kontemporer (kata-kata ini sering muncul
setiap diskusi senirupa di tanah air—terbaru di IVAA). Mungkin kita tidak cocok
mengatakan; seniman penghibur, selebritas, tidak kontemporer dengan alasan
pilihan medium, karena senirupa bukan hanya perkara medium tapi juga perkara
otak (pikiran)[4]
***
Saya tidak akan menjelaskan Melankolia lagi, karena istilah
ini telah digunakan sejak zaman Yunani Kuno dan telah mengalami perkembangan
pengertian dan penggunaannya sampai sekarang. Dan telah banyak juga seniman
memakai dalam judul karya rupa, ataupun musik. Intinya, bagi Pika istilah itu
digunakan sebagai hal yang tidak ideal.
Kita bisa melihat melalui project Melankolia ini bahwa dia
merepresentasikan persoalan personal yang juga secara tidak langsung bisa
ditarik pada fenomena kesenian, agama, fasyen, kebudayaan, mass media, dlsb.
Intinya, dia berangkat dari hal yang dialami secara personal dan orang sekitar
yang mampu dia tarik pada dirinya.
Pemakaian figur perempuan pada karyanya bukan persoalan
“gender” seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, namun hal yang paling dekat
dengan dia dan tidak menutup pada kita membaca dari berbagai perspektif, serta
perwakilan dari keadaan ideal. Sementara coretan—ekspresif menandakan
perlawanan terhadap keadaan yang ideal tersebut. Ini dapat terlihat pada setiap
lukisannya.
Serta pemakaian bunga-bunga, tidak mewakili satu jenis
bunga, tetapi meminjam sebagai penanda rasa. Jika bunga pada umumnya merupakan
ungkapan kebahagian, sedikit sebagai ungkapan belasungkawa (kehilangan).
Pilihan Pika tentu selalu pada minoritas.
Berbeda lagi dengan karya berjudul “Melankolia”, video—stop
motion. Pemakaian video merupakan sebuah pengakuannya yang tidak berlatar
belakang video juga mampu membuat video, begitu juga dengan kecendrungan
masyarakat pada umumnya—seberapa banyak masyarakat umum terkenal melalui video
(baca—youtube), begitu banyak Da’i-da’i kondang melalui mass media. Ditampilkan
lebih dari 1 layar dengan waktu mulai yang berbeda, menandakan begitu
gampangnya masyarakat umum mengakses video yang sama dalam tempo yang
berbeda-beda. Namun hal utama ‘perfeksi’ lukisnya masih kelihatan dalam video
tersebut.
Sekali lagi, mengamati pameran ini, kita tidak akan dijebak
oleh Pika untuk masuk dalam masalah-masalah personalnya, namun kita ditantang
untuk melihat variabel-variabel lain. Yaitu dalam setiap keadaan ideal pasti
ada juga keadaan non ideal yang tidak kalah pentingnya juga. Kemana pun kita
mau memposisikan keadaan tersebut.
[1]
Robin Gibson, Painting The Century: 101
portrait masterpieces 1900-2000, p.252
[2]
Anna C. Krausse, The Story of Painting:
From Renaissance To The Present, p.116
[3]
Diskusi saya dengan Fika Ria Santika, sejak 5 tahun belakangan
[4]
Ibid, Diskusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar