Senin, 30 April 2012

Hubungan Kamal Guci dengan Bangunan Bergonjong

Oleh : Anton Rais Makoginta

Saat ratusan seniman di Jogja terlibat dalam presentasi karya di Jogja Nasional Museum (JNM) dalam perhelatan pameran Negari Ngayogyakarta 13-27 Apiril 2012. Mendadak hadir seorang seniman menyodorkan  sebuah cerita  negari Minangkabau di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) 22-29 April 2012, seorang seniman yang berkarya di Sumatra Barat beliau adalah Kamal Guci.
Berbeda dengan pameran di JNM yang bercerita tentang kepahlawanan HB IX dan kontribusi Yogyakarta bagi bangsa Indonesia[1], Kamal malahan membawa cerita-cerita (kaba) tragedi kebudayaan Minangkabau saat ini melalui lukisan yang dipamerkannya dalam pameran “Kaba dari Ranah” tersebut, walaupun menurut saya sendiri masih ada cerita lain yang dibawa oleh beliau.

Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai kaba tentang apa dan bagaimananya yang dibawa oleh Kamal, terlebih dahulu saya ingin mengetahui kepada siapa cerita tersebut ingin ia sampaikan? Dalam katalog pameran sebuah catatan oleh Fadli Zon dapat saya tulis di sini “Kaba dari ranah ini akan mengetuk hati para perantau agar ikut memikirkan masa depan Minangkabau”.

Baik, untuk sementara saya setujui apa yang disampaikan oleh Zon tersebut karena nanti akan dipertanyakan lagi, hal ini dibuktikan dengan diskusi sehari setelah pembukaan pameran di UPT Galeri ISI Yogyakarta dengan pembicara; Zon sendiri, Bagindo Yohanes Wempi, Zurmailis, Ali Umar, dan Kamal Guci.

Ternyata dalam diskusi tersebut jelas ditujukan terhadap masyarakat Minangkabau [perantau], karena yang diungkap persoalan yang dimengerti oleh etnis tersebut, mulai dari cerita tungku tigo sajarangan, niniak mamak, petatah-petitih dengan kata lain perihal adat-istiadat yang telah mengalami pelapukan serta cara mengatasinya, dan sedikit melupakan cerita mengenai karya-karya yang dipamerkan oleh Kamal dengan kata lain over-lap.

Tapi, tidak ada pula salahnya saya sedikit membuka cerita yang bersifat “interen” tersebut , tentunya hal yang tidak setujui dan berakibat sangat fatal terhadap Minangkabau kedepannya. Wempi mengutarakan bahwa  tiga pilar pokok (tungku tigo sajarangan) di Minangkabau harus tetap terjaga dan saling bekerjasama, mereka adalah; Niniak Mamak, Alim Ulama, Pemerintah. Ternyata bagi dia cerdik pandai yang biasanya bermain balik layar sebagai pilar satunya lagi digantikan oleh pemerintah yang bermain di depan dengan alasan saat ini cerdik pandai Minangkabau adalah orang yang mau terlibat dalam pemerintahan, saya rasa belum tentu cerdik pandai mau terlibat dalam pemerintahan? Sejarah telah membuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh dari negri ini hanya Bung Hatta yang mau terlibat dalam pemerintahan walaupun ada yang lebih pintar dari beliau pada saat itu.

Diperkuat juga oleh Zon, bahwa jika seseorang sudah terlibat dalam pemerintahan/perpolitikan sangat ia ragukan orang tersebut akan bertambah cerdik atau pintar, dan yang bisa kita harapkan dari pemerintahan terhadap kebudayaan adalah pariwisata kebudayaan sambil berharap ada secara individu bergerak dalam kebudayaan itupun dia melepaskan pergerakannya dari unsur pemerintahan, sebagai misal Zon sendiri, seorang politisi (pemerintahan) membangun rumah kebudayaan di Sumatra Barat bukan atas nama pemerintahan malahan atas nama dia sendiri. Satu hal lagi yang perlu diingat sistem pemerintahan heararkis ciptaan Belanda yang kita pakai sampai saat ini tersebutlah yang menciptakan pelapukan budaya serta sistem pemerintahan Niniak mamak Minangkabau[2].

Sudahlah! Semakin panjang saya bercerita tentang pemahaman Minangkabau orang tersebut semakin banyak ketidakseuaian dengan saya. Alangkah baiknya kita kembali pada karya dan cerita (kaba) dari ranahnya Kamal Guci.
***

 Duapuluh satu lukisan yang dipajang di BBY cukup mewakili cerita yang dibangun oleh Kamal mengenai ranah (nagari) nya, saya rasa perlu mengapungkan pembacaan dari  Zon serta Zurmailis dengan alasan mereka memang dilibatkan oleh Kamal dalam pembacaan karyanya[3]. Menurut perspektif Zon menggambarkan keprihatinan Kamal terhadap kebudayaan Minangkabau saat ini terutama terhadap nilai-nilai adat dan agama yang terus bergeser dan terpinggirkan, ketakutan akan hilangnya Minangkabau sehingga yang ada adalah Sumatra Barat, hal itu disampaikan oleh kamal melalui objek-objek rumah gadang dan rangkiang (tempat pengumpulan padi) yang telah digerogoti oleh lumut dan fase-fase kehancuran. Kamal juga dia nyatakan adalah seniman memilki ide-ide surealis yang dituangkan secara naturalis-realis.

Bagaimana pula cerita dari Zurmailis? Tak jauh berbeda dengan yang diutarakan oleh Zon, namun dia lebih melihat Kamal sebagai orang yang memerhatikan perubahan sosiokultural masyarakat Minangkabau dan mampu mengkomparasi dengan kaya Wakidi-(an) yang masih ada dipraktekkan oleh beberapa seniman di sana sampai sekarang.

Saya sependapat dengan mereka bahwa kamal Guci menceritakan pandangan hidupnya terhadap perubahan kebudayaan pada setiap lukisannya, namun saya belum sepakat akan ketakutan-ketakutan dalam cerita  mereka dan Kamal Guci sendiri. Terlalu gampangnya Minangkabau hancur jika demikian. Menurut saya itu hanya perubahan budaya karena budaya Minangkabau bersifat dinamis (budaya lain juga).
Ketidak sepakatan saya berhulu pada karya “Sejarah Rangkiang” atau tempat penyimpan padi. Marilah kita sama-sama menikmati karya tersebut agak beberapa peminuman!

Memang benar lumbung padi (rangkiang) selalu berjejer tiga buah di depang rumah gadang, sesuai dengan sejarahnya merupakan tempat penyimpan padi sebagai bahan makanan, masing-masing rangkiang tersebut memiliki nama serta fungsi yang berbeda-beda. Rangkiang pertama difungsikan untuk kebutuhan dapur/kebutuhan pemilik, rangkiang kedua diperuntukkan orang sekitar kampung (negari), sedangkan yang ketiga bagi orang lewat atau orang singgah dari mana pun. Ini membuktikan sifat berbagi, saling menolong, hidup dalam kebersamaan.

Berdasarkan sejarah fungsi rangkiang inilah saya memberanikan diri mengatakan bahwa cerita (kaba) yang dibawa Kamal terlalu didramatisir sehingga menimbulkan ketakutan kehilangan sifat keagaliteran masyarakat Minangkabau. Jika saya sepakat berarti mengamini seorang Kamal (orang ranah) tidak mempunyai apa-apa untuk memenuhi kebutuhan serta tidak ada sifat saling membantu antar sesama, dan saya tidak yakin Kamal sampai pameran di Bentara Jogja tanpa ada bantuan dari orang-orang sekitar dia. Artinya walaupun sekarang kita tidak menemui  secara fisik namun nilai-nilai yang dapat dijadikan guru dari rangkiang tersebut masih ada.

Saya bukan mengatakan Kamal luput akan sejarah, namun ada kemungkinan lain dari sudut pandang beliau melihat rangkiang tersebut. Bisa jadi rangkiang itu rusak karena tidak pernah dipakai lagi akibat semakin sedikitnya orang untuk memelih profesi sebagai petani padi di Ranah Minang, atau karena lahan pertanian sudah diganti bangunan beton seperti yang saya perhatikan di Jogja ini, namun saya tahu di sana ada lahan-lahan yang tidak bisa dijual sama sekali.

Kemungkinan lainnya tidak adanya pembangunan rangkiang-rangkiang baru, sama juga halnya dengan rumah gadang. Hal ini sulit diwujudkan pertama karena bahan bangunannya (kayu) sangat sulit didapat dan mahal, kedua yang membangun suatu rumah gadang beserta rangkiangnya adalah Niniak Mamak atau laki-laki dalam rumah tersebut, sementara para lelaki melakukan pembangunan rumah bagi anak-anaknya di tempat istrinya.[4]

Selain itu kemungkinan terakhir Kamal menggunakan objek rangkiang atau rumah gadang sebagai petanda Minangkabau dalam lukisannya, bahwa dia menyatakan Minangkabau ditandai oleh adanya bangunan tersebut. Sama halnya ketika kita memperhatikan merek rumah makan padang di luar Minagkabau selalu fontnya membentuk ciri khas dari bangunan tersebut.

Terserah Anda kemungkinan apa yang mampu ditangkap!
***

Pada akhir paragraf pertama tulisan ini saya menegaskan ada cerita lain yang dibawa oleh Kamal ke Negari Yogyakarta, bahwa  perwujudan artistik yang terkenal dengan trimurti Mooi IndiĆ« masih berlangsung di luar pulau Jawa. Walaupun seluruh karya Kamal tidak mengandung estetik romantis eksotik pemandangan, dan sudah tentu berbeda dengan pendahulunya tersebut.

Setelah saya telusuri ternyata Kamal menyatakan dia berusaha melukis dengan ikhlas, dan apa yang dia lukis demikianlah yang didapat dari guru melukisnya[5]. Pertanyaan timbul di sini, apakah informasi perkembangan senirupa tersendat-sendat keluar dari pulau Jawa? Semoga ini salah. Namun hal ini bisa juga kita perhatikan jika perupa dari Bali saat berpameran di Yogyakarta.

 Apakah dia sudah terlalu nyaman dan bahagia dengan objek lukisan tersebut berdasarkan kemungkinan-kemungkinan sebelumnya? Sehingga sejak saya mengenal karya beliau (waktu saya masih tinggal di Padang) sampai sekarang berkutat dengan objek tersebut.

Perkataan yang pasti buat Kamal Guci : “terimakasih telah mau membawa cerita dari ranah!”




[1] Catatan dari Katalog atau wall text pameran Negari Ngayogyakarta Hadiningrat oleh M. Dwi Marianto
[2] Baca lebih lanjut buku Elite-Elite Minagkabau Moderen. Serta tulisan Zurmailis dalam katalog Kaba dari        Ranah Kamal Guci.
[3] Pembacaan Fadli Zon dan Zurmailis dapat dibaca dalam katalog pameran Kaba dari Ranah Kamal Guci.
[4] Simak pidato Buya Hamka dalam kaset rekaman tentang pembangunan rumah gadang
[5] Disampaikan oleh Kamal Guci saat diskusi pameran Kaba dari Ranah di UPT galeri ISI Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman