Saat ratusan seniman di Jogja
terlibat dalam presentasi karya di Jogja Nasional Museum (JNM) dalam perhelatan
pameran Negari Ngayogyakarta 13-27 Apiril 2012. Mendadak hadir seorang seniman
menyodorkan sebuah cerita negari Minangkabau di Bentara Budaya
Yogyakarta (BBY) 22-29 April 2012, seorang seniman yang berkarya di Sumatra
Barat beliau adalah Kamal Guci.
Berbeda dengan pameran di JNM yang bercerita tentang kepahlawanan HB IX dan kontribusi Yogyakarta bagi bangsa Indonesia[1], Kamal malahan membawa cerita-cerita (kaba) tragedi kebudayaan Minangkabau saat ini melalui lukisan yang dipamerkannya dalam pameran “Kaba dari Ranah” tersebut, walaupun menurut saya sendiri masih ada cerita lain yang dibawa oleh beliau.
Berbeda dengan pameran di JNM yang bercerita tentang kepahlawanan HB IX dan kontribusi Yogyakarta bagi bangsa Indonesia[1], Kamal malahan membawa cerita-cerita (kaba) tragedi kebudayaan Minangkabau saat ini melalui lukisan yang dipamerkannya dalam pameran “Kaba dari Ranah” tersebut, walaupun menurut saya sendiri masih ada cerita lain yang dibawa oleh beliau.
Sebelum kita berbicara lebih jauh
mengenai kaba tentang apa dan
bagaimananya yang dibawa oleh Kamal, terlebih dahulu saya ingin mengetahui
kepada siapa cerita tersebut ingin ia sampaikan? Dalam katalog pameran sebuah
catatan oleh Fadli Zon dapat saya tulis di sini “Kaba dari ranah ini akan mengetuk hati para perantau agar ikut
memikirkan masa depan Minangkabau”.
Baik, untuk sementara saya setujui
apa yang disampaikan oleh Zon tersebut karena nanti akan dipertanyakan lagi,
hal ini dibuktikan dengan diskusi sehari setelah pembukaan pameran di UPT
Galeri ISI Yogyakarta dengan pembicara; Zon sendiri, Bagindo Yohanes Wempi,
Zurmailis, Ali Umar, dan Kamal Guci.
Ternyata dalam diskusi tersebut
jelas ditujukan terhadap masyarakat Minangkabau [perantau], karena yang
diungkap persoalan yang dimengerti oleh etnis tersebut, mulai dari cerita tungku tigo sajarangan, niniak mamak, petatah-petitih dengan
kata lain perihal adat-istiadat yang telah mengalami pelapukan serta cara
mengatasinya, dan sedikit melupakan cerita mengenai karya-karya yang dipamerkan
oleh Kamal dengan kata lain over-lap.
Tapi, tidak ada pula salahnya saya
sedikit membuka cerita yang bersifat “interen” tersebut , tentunya hal yang
tidak setujui dan berakibat sangat fatal terhadap Minangkabau kedepannya. Wempi
mengutarakan bahwa tiga pilar pokok (tungku tigo sajarangan) di Minangkabau
harus tetap terjaga dan saling bekerjasama, mereka adalah; Niniak Mamak, Alim
Ulama, Pemerintah. Ternyata bagi dia cerdik pandai yang biasanya bermain balik
layar sebagai pilar satunya lagi digantikan oleh pemerintah yang bermain di
depan dengan alasan saat ini cerdik pandai Minangkabau adalah orang yang mau
terlibat dalam pemerintahan, saya rasa belum tentu cerdik pandai mau terlibat
dalam pemerintahan? Sejarah telah membuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh dari
negri ini hanya Bung Hatta yang mau terlibat dalam pemerintahan walaupun ada
yang lebih pintar dari beliau pada saat itu.
Diperkuat juga oleh Zon, bahwa jika
seseorang sudah terlibat dalam pemerintahan/perpolitikan sangat ia ragukan
orang tersebut akan bertambah cerdik atau pintar, dan yang bisa kita harapkan
dari pemerintahan terhadap kebudayaan adalah pariwisata kebudayaan sambil
berharap ada secara individu bergerak dalam kebudayaan itupun dia melepaskan
pergerakannya dari unsur pemerintahan, sebagai misal Zon sendiri, seorang
politisi (pemerintahan) membangun rumah kebudayaan di Sumatra Barat bukan atas
nama pemerintahan malahan atas nama dia sendiri. Satu hal lagi yang perlu
diingat sistem pemerintahan heararkis ciptaan Belanda yang kita pakai sampai
saat ini tersebutlah yang menciptakan pelapukan budaya serta sistem
pemerintahan Niniak mamak Minangkabau[2].
Sudahlah! Semakin panjang saya
bercerita tentang pemahaman Minangkabau orang tersebut semakin banyak
ketidakseuaian dengan saya. Alangkah baiknya kita kembali pada karya dan cerita
(kaba) dari ranahnya Kamal Guci.
***
Duapuluh satu lukisan yang dipajang di BBY
cukup mewakili cerita yang dibangun oleh Kamal mengenai ranah (nagari) nya,
saya rasa perlu mengapungkan pembacaan dari Zon serta Zurmailis dengan alasan mereka
memang dilibatkan oleh Kamal dalam pembacaan karyanya[3].
Menurut perspektif Zon menggambarkan keprihatinan Kamal terhadap kebudayaan
Minangkabau saat ini terutama terhadap nilai-nilai adat dan agama yang terus
bergeser dan terpinggirkan, ketakutan akan hilangnya Minangkabau sehingga yang
ada adalah Sumatra Barat, hal itu disampaikan oleh kamal melalui objek-objek
rumah gadang dan rangkiang (tempat pengumpulan padi) yang telah digerogoti oleh
lumut dan fase-fase kehancuran. Kamal juga dia nyatakan adalah seniman memilki
ide-ide surealis yang dituangkan secara naturalis-realis.
Bagaimana pula cerita dari
Zurmailis? Tak jauh berbeda dengan yang diutarakan oleh Zon, namun dia lebih
melihat Kamal sebagai orang yang memerhatikan perubahan sosiokultural
masyarakat Minangkabau dan mampu mengkomparasi dengan kaya Wakidi-(an) yang
masih ada dipraktekkan oleh beberapa seniman di sana sampai sekarang.
Saya sependapat dengan mereka bahwa
kamal Guci menceritakan pandangan hidupnya terhadap perubahan kebudayaan pada
setiap lukisannya, namun saya belum sepakat akan ketakutan-ketakutan dalam
cerita mereka dan Kamal Guci sendiri.
Terlalu gampangnya Minangkabau hancur jika demikian. Menurut saya itu hanya
perubahan budaya karena budaya Minangkabau bersifat dinamis (budaya lain juga).
Ketidak sepakatan saya berhulu pada
karya “Sejarah Rangkiang” atau tempat penyimpan padi. Marilah kita sama-sama
menikmati karya tersebut agak beberapa peminuman!
Memang benar lumbung padi
(rangkiang) selalu berjejer tiga buah di depang rumah gadang, sesuai dengan
sejarahnya merupakan tempat penyimpan padi sebagai bahan makanan, masing-masing
rangkiang tersebut memiliki nama serta fungsi yang berbeda-beda. Rangkiang
pertama difungsikan untuk kebutuhan dapur/kebutuhan pemilik, rangkiang kedua
diperuntukkan orang sekitar kampung (negari), sedangkan yang ketiga bagi orang
lewat atau orang singgah dari mana pun. Ini membuktikan sifat berbagi, saling
menolong, hidup dalam kebersamaan.
Berdasarkan sejarah fungsi
rangkiang inilah saya memberanikan diri mengatakan bahwa cerita (kaba) yang
dibawa Kamal terlalu didramatisir sehingga menimbulkan ketakutan kehilangan
sifat keagaliteran masyarakat Minangkabau. Jika saya sepakat berarti mengamini
seorang Kamal (orang ranah) tidak mempunyai apa-apa untuk memenuhi kebutuhan
serta tidak ada sifat saling membantu antar sesama, dan saya tidak yakin Kamal
sampai pameran di Bentara Jogja tanpa ada bantuan dari orang-orang sekitar dia.
Artinya walaupun sekarang kita tidak menemui
secara fisik namun nilai-nilai yang dapat dijadikan guru dari rangkiang
tersebut masih ada.
Saya bukan mengatakan Kamal luput
akan sejarah, namun ada kemungkinan lain dari sudut pandang beliau melihat
rangkiang tersebut. Bisa jadi rangkiang itu rusak karena tidak pernah dipakai
lagi akibat semakin sedikitnya orang untuk memelih profesi sebagai petani padi
di Ranah Minang, atau karena lahan pertanian sudah diganti bangunan beton
seperti yang saya perhatikan di Jogja ini, namun saya tahu di sana ada
lahan-lahan yang tidak bisa dijual sama sekali.
Kemungkinan lainnya tidak adanya
pembangunan rangkiang-rangkiang baru, sama juga halnya dengan rumah gadang. Hal
ini sulit diwujudkan pertama karena bahan bangunannya (kayu) sangat sulit
didapat dan mahal, kedua yang membangun suatu rumah gadang beserta rangkiangnya
adalah Niniak Mamak atau laki-laki
dalam rumah tersebut, sementara para lelaki melakukan pembangunan rumah bagi
anak-anaknya di tempat istrinya.[4]
Selain itu kemungkinan terakhir
Kamal menggunakan objek rangkiang atau rumah gadang sebagai petanda Minangkabau
dalam lukisannya, bahwa dia menyatakan Minangkabau ditandai oleh adanya
bangunan tersebut. Sama halnya ketika kita memperhatikan merek rumah makan
padang di luar Minagkabau selalu fontnya membentuk ciri khas dari bangunan
tersebut.
Terserah Anda kemungkinan apa yang
mampu ditangkap!
***
Pada akhir paragraf pertama tulisan
ini saya menegaskan ada cerita lain yang dibawa oleh Kamal ke Negari
Yogyakarta, bahwa perwujudan artistik
yang terkenal dengan trimurti Mooi Indiƫ masih berlangsung di luar pulau Jawa.
Walaupun seluruh karya Kamal tidak mengandung estetik romantis eksotik
pemandangan, dan sudah tentu berbeda dengan pendahulunya tersebut.
Setelah saya telusuri ternyata
Kamal menyatakan dia berusaha melukis dengan ikhlas, dan apa yang dia lukis
demikianlah yang didapat dari guru melukisnya[5].
Pertanyaan timbul di sini, apakah informasi perkembangan senirupa
tersendat-sendat keluar dari pulau Jawa? Semoga ini salah. Namun hal ini bisa
juga kita perhatikan jika perupa dari Bali saat berpameran di Yogyakarta.
Apakah dia sudah terlalu nyaman dan bahagia
dengan objek lukisan tersebut berdasarkan kemungkinan-kemungkinan sebelumnya?
Sehingga sejak saya mengenal karya beliau (waktu saya masih tinggal di Padang)
sampai sekarang berkutat dengan objek tersebut.
[1]
Catatan dari Katalog atau wall text pameran Negari Ngayogyakarta Hadiningrat
oleh M. Dwi Marianto
[2]
Baca lebih lanjut buku Elite-Elite Minagkabau Moderen. Serta tulisan Zurmailis
dalam katalog Kaba dari Ranah Kamal Guci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar