Senin, 05 Desember 2011

PERGUMULAN “ULAR BERBISA”


oleh : Anton Rais Makoginta

Kouta! Kuota! Kouta! Begitulah judul email yang mampir di kotak masuk, ada sebuah ketertarikan aku untuk membuka - untuk menghadiri perhelatan tersebut berhubung tercantum nama-nama: Baihaqi Hasan, Eddi Prabandono, Faisal Habibi, Kanwa Adikusumah, Narpati Awangga, S Teddy Darmawan, Titarubi, Wiyoga Muhardanto.

Setelah melewati mbak-mbak yang telah berbaik hati untuk meminjamkan sebuah pena guna mengisi buku tamu yang berkop
Langgeng Art Foundation dan bertanggal 19 Maret 2011, aku melangkah ke dalam kerumunan orang-orang banyak yang rata-rata aku kenal [seniman dan antek-anteknya] kecuali yang berkulit putih yang hanya kenal wajah.
Berbeda memang dengan pengalaman aku ketika melihat pembukaan pameran di beberapa galeri jakarta karena mayoritas yang hadir adalah orang yang haus akan hiburan – kebutuhan, mengingatkan aku ketika masa kanak-kanak dulu pergi ke Toko Singgalang Jaya Emas.

Kami yang hadir berdiri di sekitar karya “Love Tank” Teddy beserta video pengerjaan karya tersebut, sebelah baratnya ada sebuah pintu kecil pada bagian bawah dinding yang sebelumnya tidak aku sadari bahwa itu merupakan karya Wiyoga Muhardanto.

Selang beberapa waktu Enin Supriyanto sebagai direktur LAF ditemani Grace Samboh dan Hendro Wiyanto ikut bergabung dengan kami. Enin menegaskan bahwa kouta! Merupakan pemeran berkala yang diadakan Langgeng kali ini bekerja sama dengan Hendro sebegai kurator, beserta seniman-seniman dengan karyanya yang telah dipamerkan sebelumnya. Ditambah dengan kegalauan LAF melihat fenomena setelah pameran seni rupa selesai, maka usai pula pameran dan karya tersebut, menggambarkan pengambilan posisi LAF sebagai space seni rupa di tabah air ini.
Sebelum kami dipersilahkan untuk melihat karya-karya yang lainnya. Hendro membuat jembatan [kerja kurator], yang mampu aku ingat dia mencoba mengadirkan kembali karya gigantik dan sekutil secara bersamaan dengan perbedaan diskursus serta tempat sebelumnya. Tak kalah pentingnya dia mengajak para hadirin untuk langsung mengalami [melihat] karya-karya dalam ruangan pameran tanpa diinterpetensi sebelumnya oleh Kurator [yang telah sudah-sudah], walaupun ketika kami mulai masuk pameran tersebut langsung dihadapkan pada wall tex [yang telah sudah-sudah].

Aku akui memang tujuan pameran Kouta! Hadir dalam format serta metode berbeda dari pameran yang pernah dikelola oleh mereka (Enin, Grace, Hendro) sebelumnya. Guna untuk memahami tujuan pameran tersebut diadakan lah kuliah umum mengenai filsafat fenomenologi pada tanggal 14 April 2011. F. Budi Hardiman menyampaikan mengenai fenomenologi penglihatan , bercerita dari pandangan Immanuel Kant dan Edmund Husserl dan berujung pada pandangan Maurice Merlau-Ponty.

Besoknya Hendro [kurator] mengadakan dialog dengan judul makalahnya “Pengalaman-Pengalaman Membuat Pameran Dan Menatap Karya Seni Di Dalam Ruang”. Awal dari tulisan Hendro meminjam kata-kata [jagoan] Merleu-Ponty sebagai mana yang disampaikan oleh Hardiman bahwa dialah Filsuf Prancis yang paling ketat mengembangkan Fenomenologi Husserl . Pernyataan-pernyataan Hendro mengikuti sang “jagoan”nya, mengajak apresiator bagaimana mengalami pengalaman primordial terhadap objek melalui pengalaman penglihatan [kebertubuhan]. Ya, memang karena itulah tujuan dari pameran tersebut.

Aku teringat cerita seseorang di Yunani pada tahun 250 SM yang pernah juga disampaikan oleh Tan Malaka : Menurut undang Archimedes, maka kalau benda yang padat (solid) terbenam pada barang cair, maka benda tadi kehilangan berat sama dengan berat zat cair yang dipindahkan oleh benda itu. Sebelum ketetapan Archimedes masih tetap terpakai sampai sekarang, dia selalu bereksperimen terhadap tubuhnya sendiri serta jalan verifikasi lainnya. Artinya sama saja dengan Merleau-Ponty telah juga selesai dengan eksperimen dan verifikasi mengenai pandangannya.
Nah, kalau begitu apakah tujuan Hendro mengajak aku/kita untuk melakukan verifikasi pemikiran orang yang telah selesai dikerjakannya? Terbukti Merleau-Ponty mempunyai pengaruh di dunia filsafat.

Mungkin karena ini lah alasan St.Sunardi mengeluarkan perkataan, kurang lebih begini karna aku tidak ada rekaman waktu dialog tersebut: seni [kita] sekarang berada pada ranah kontemporer, phenomenologi tersebut pada ranah moderen tahun 60an. Buat apa juga dipakai menghadapi karya-karya kontemporer yang ada dalam ruangan pameran ini.

Kesan yang ditimbulkan dari pameran tersebut lebih dikuasai oleh pembuktian bidang filsafat dari pada karyanya sendiri. Memang Hendro mempunyali landasan bahwa mengenai karya tersebut telah pernah diwacanai sebelumnya, misal tulisan-tulisan tentang karya Teddy dan Titarubi yang telah dibuat Enin Supriyanto dan Antariksa. Ya, dengan asumsi bahwa yang hadir [lihat] pameran ini telah membaca tulisan mereka. Serta dengan alasan mengajak seniman untuk dapat memperhatikan hal-hal yang primordial dalam proses berkarya. Ya, dengan asumsi seniman kita belum pernah melakukan hal tersebut dalam berkarya.

Sangat memperkokoh perkataan dari Antariksa ketika dialog tersebut : Jika Anda [kurator] ingin jadi baik dan sukses maka ubah lah cara kerja seperti ini.
Beginilah gambarannya pameran ataupun praktek dunia seni rupa Indonsia hari ini, walaupun tidak semuanya begitu.

Beranikah Anda/kita jujur….?
Bahwa dunia penulisan esai/kritik seni rupa jauh tertinggal dari karya seninya sendiri?

Dipelejari semua isme. Cocokkan dengan masalah isme dan sekitarnya. Cocok, uji. Tidak cocok, hantam. Ini sistem “ular berbisa” namanya. Untung lah dari pada sistem “hantu”. Awas kalau ada yang mengkritik Gua catat lu! .

1. Makalah F. Budi Hardiman Fenomenologi Penglihatan pada kuliah umum di Langgeng Art Foundation
2. Ibid.
3. Terdapat di dalam Madilog
4. Istilah ular berbisa dan hantu dikmukan oleh Oesman Effendi dalam Seni lukis Indonesia Dulu dan Sekarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman