Minggu, 04 Desember 2011
Gemuk yang Tidak Membuang Lemak
oleh : Anton Rais Makoginta
;dfkjhsgbfashdfkjABdfbhisasdfghkugsjkrtfi ;rhio;hkjbfafadfgFBNFAUIHJXFHNAhfnkasjfn
;/afkjdfkajsd
;aknkjhdihihajshdammghrf8quefanxciayerqfasfkdljtw984,mdfnksz
Saya telah mencoba untuk memahami susunan huruf yang hanya beberapa baris di atas, namun tidak mampu mengetahui perseluk-belukan serta peralaman [logika] nya, dan yakin anda juga akan meresakan apa yang saya alami ketika mencoba untuk menikmati aksara tersebut.
Itu merupakan gambaran perkataan saya pada Dias Prabu ketika pertama kami membicarakan project So Fat So Good yang diadakan di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta (17 Okt – 13 Nop) dan Jakarta (24 Nop – 8 Des 2011).
Kita hanya dapat memahami bagaimana kondisi pertemuan kami, serta berapa besar manfaat dari cerita tersebut.
Akan sama manfaatnya ketika dalam tulisan ini saya mengumpulkan isi berbagai kamus/website perihal So Fat So Good, menyajikan pendapat-pendapat tentang kebertubuhan [matter] yang diberi penilaian [ide] pada ranah filsafat, meninjau teori-teori keluaran peneliti-peneliti yang berseluk-beluk dengan judul pameran ini.
Seperti kebiasaan sebahagian penulis dalam lembaran katalog pameran senirupa di Nusantara kita, karena merasa esensi pameran adalah transkosakata, mengiyakan ataupun menolak undang seorang filosuf yang telah rampung dia uji sebelum diundangkan, serta proses menyocokan atau menghantam bermacam teoretik peneliti.
Namun pameran ini adalah membangun narasi yang disampaikan oleh Dias selaku creator melalui bahasanya pada dia sendiri, saya, anda, kita.
***
Mudah-mudahan saya salah menganggap adanya unsur politis, mombastis yang mencari sensasi dalam kalimat so fat so good -- jangan-jangan perkataan ini dilontarkan oleh seniman guna memperkokoh posisi figur-figur gemuknya – agar pilihan figurnya harus kita sepakati adalah so good.
Tak ubahnya dengan perkataan/slogan yang berlangsung di jogja beberapa bulan terakhir ini, demi mendapatkan perhatian dari masyarakat “no 1 adalah the best, no 2 sang penerus yang baik, no 3 mengandalkan blangkon yang mereka kenakan dalam poster” inti nya nomor mereka so good.
Iklan-iklan di televisi bahwa kulit kita yang bagus adalah berwarna putih, sehingga produk-produk yang membuat kulit berwarna cerah adalah so good.
Lagu-lagu top fourty terjual sekian juta copy dan dimediasi setiap hari memalui infotainment, sehingga musik kita dikuasai oleh nada-nada minor, elegi patah hati, mendayu-dayu – seolah hidup ini hanya urusan cinta, karena cinta adalah so good.
Filsafat hidup berdasarkan dunia ide yang berpuncak pada Hegel dengan absolut idenya. Hidup berdasarkan kebendaan [matter] yang berpuncak pada Marx-Angel. Setelah mereka shintetis antara ide dan matter. Setiap pikiran/undang mereka adalah so good.
***
Menjawab dugaan-dugaan saya itu Dias harus menyediakan kasur jikala sampai tertidur sehabis diskusi di studionya.
Ayo sama-sama kita simak apa yang disampaikan Dias pada saya! Sudah barang tentu saya sebagai pencerita dari sumber lain [Dias] ada penambahan atau pengurangan sejauh yang saya pahami:
Jika ada teman bertanya pada saya semacam ini: apakah kamu mengenal Dias? Dia anak Malang yang berbadan sedikit lebih besar dari saya dan karyanya tidak lepas dari figur-figur gemuk, karena hal ini yang menjadi pengingat dalam benak saya terhadap sosok Dias.
Nah,Dias mengapa figur-figur seperti itu yang kamu pilih dari sekian banyaknya pilihan objek dalam berkarya?
Saya menggarap figur gemuk sudah berlansung selama lima tahun belakangan ini, selain dari menemukan keasikan dalam berkarya -- figur ini menurut saya sangat istimewa untuk dieksplorasi keberadaannya dalam bentuk visualisasi kekaryaan. Memang, telah banyak perupa-perupa di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia sendiripun juga banyak yang bereksplorasi dengan figur yang satu ini. Walaupun secara ide pastinya memiliki sisi yang berbeda satu sama lainnya.
Kata ‘sangat istimewa’ mengganggu pikiran saya, karena tidak ada penjabaran kenapa menjadi begitu sangat istimewa bagi Dias. Saya teringat percakapan Umar kayam bersama Rusli dan Nashar, ketika menanggapi Pameran Seni Lukis Dunia Perminyakan 1974.
Kayam mengajukan pertanyaan Kenapa bung Rusli mau terima tawaran Pertamina, bung Nashar kagak? Nashar menjawab Aku merasa belum biasa atau akrab untuk menggumulinya. Kalau mereka tawarkan lain obyek, obyek yang aku kenal, lain soalnya. Jawaban Rusli juga berkaitan dengan kedekatan obyek serta kebebasan dalam berkarya.
Kedekatan obyek inilah yang membuat sangat istimewa bagi Dias.
Dias memang bukan satu-satunya seniman yang menampilkan figur gemuk [dia juga mengakui]. Sejak zaman batu dahulu kala pun figur gemuk telah ada, buktinya “Venus of Wellindrof” pembesaran pada bahagian kesuburan. Sosok gemuk juga muncul dalam salah satu periode berkarya Picasso, karya Botero, komik Asterik [Obelisk], karya Didik Nurhadi, karya M. Rizky (Kiky).
Obyek yang sama dieksplorasi oleh seniman yang berbeda, tentunya menghasilkan perberbedaan tex [visual] dan konteks.Agar kamu tidak ikut-ikutan, apa yang kamu lakukan untuk membuat karya berbeda dari mereka?
Maka dari itu, saya membangun sebuah narasi cerita fantasi saya tentang apa itu figur gemuk menurut kaca mata kekaryaan saya. Sejauh ini dalam pandangan saya tentang figur gemuk ialah, jika dilihat secara harfiah bahwa gemuk merupakan sosok badan yang berlemak banyak, jika makan melebihi takaran orang normal, dan sebagainya. Namun, dalam hal ini yang saya angkat dari figure gemuk sendiri ialah dari sisi lain seperti dari kelucuannya, bagaimana berinteraksi dengan figur lainnya, atau figur gemuk yang mencoba bersifat sinis terhadap apa yang terjadi di dunia saat ini (seperti satire). Beberapa ide yang saya utarakan tersebut saya rangkum menjadi satu cerita dimana figure gemuk di sini telah memiliki dunia fantasi sendiri, bersama figur-figur lainnya seperti orang gempal, kurus, robot, ataupun monster-monster unik sebagai penunjang namun tetap kuat posisinya.
Dias dari sekian banyak orang sempat terjebak dalam stereotipe mengenai seseorang yang bertubuh gemuk sehingga sempat mengatakan berbeda dengan manusia normal, apakah gemuk adalah manusia tidak normal? Yang normal itu bagaimana? Berdasarkan siapa proses normalisasi tersebut?
Sekali lagi saya harus menengok esai “Korban Ideologi Langsing” karya Aquarini Priyatna Prabasmoro. Saya marah karena itulah saya menulis, dalam esai tersebut Prabasmoro marah ketika dia melihat kejadian ketika dia menonton acara Indonesian Idol. Saat Nania, kandidat yang bertubuh gemuk diberi pertanyaan oleh seorang juri “Diet Mau Gak?” pertanyaan memojokkan tubuh Nania ke pinggiran, sebagai tubuh yang ditolak, tubuh yang reject. Juga mengimplikasi stereotipe lama yang masih melekat bahwa orang gemuk adalah orang-orang pemalas yang kebanyakan makan. “Diet mau gak? Disetarakan oleh Prabasmoro dengan pertanyaan “apakah pikiranmu mampu mengendalikan tubuh dan hasrat tubuhmu?”. Sehingga Nania harus melepaskan tubuhnya dan menjadikan tubuhnya sekedar tubuh yang tidak ada hubungannya dengan dirinya, dengan kemampuan menyanyinya dan dengan usahanya menjadi bintang.
Mungkin lebih banyak lagi kejadian-kejadian seperti yang disampaikan oleh Prabasmoro diatas. Misal, seorang anggota lawak OVJ yang selalu tubuhnya dijadikan obyek guyonan mereka. Dan alahurabi banyaknya kasus peminggiran tubuh gemuk di sekitar kita masing-masing.
Pada akhirnya Dias mampu keluar dari jebakan stereotipe tersebut, yang dibuktikan melalui pameran ini.
Apa harapan kamu bagi masyarakat memalui pameran project So Fat So Good?
Harapan saya tidak terlampau muluk-muluk, saya hanya mengajak diri saya, kamu, kita untuk mampu keluar dari stereotipe-stereotipe negatif lama, dan kita mampu melihat positifnya.
***
Percakapan saya dengan Dias mengungkapkan bahwa So Fat So Good bukan mengandung unsur politis dalam berkarya, bukan perkataan bombastis dari seniman, bukan perkataan yang mencari sensasi. Akan tetapi merupakan ajakan terhadap kita agar mampu mellihat sisi positif dari stereotipe negatif yang berkembang dalam masyarakat kita.
Bagi Dias figur gemuk dilihat dari sisi kelucuannya, bagaimana berinteraksi dengan figur lainnya, atau figur gemuk yang mencoba bersifat sinis terhadap apa yang terjadi di dunia saat ini (seperti satir). Figur gemuk telah memiliki dunia fantasi sendiri, bersama figure-figur lainnya seperti orang gempal, kurus, robot, ataupun monster-monster unik.
Kita bisa saja mengubah figur gendut Dias dengan diri kita sendiri, saya yang bertubuh kurus lengkap dengan stereotipenya, saya yang berkulit gelap lengkap dengan stereotipenya, saya yang diberi kelas ekonomi lengkap dengan stereotipenya, saya yang beragama ini-itu lengkap dengan stereotipe, dan berbagai-banyaknya “saya” lengkap dengan stereotipenya. Agar juga mampu keluar dari stereotipe negatif yang telah me[di]lekat[kan] oleh masyarakat kita.
Menanggapi stereotipe yang telah melekat pepatah Indonesia mengatakan “tidak akan kuning kena kunyit”, artinya walaupun kita hidup dalam stereotipe tersebut tidak akan mampu larut dalam stereotipe tersebut. Sebagaimana tidak akan kuning jika terkena kunyit, karena mampu mengambil positifnya. Sehingga jika kita gemuk tidak menghilangkan kegemukan dengan membuang lemak yang ada pada kita.
***
1. Esai Umar Kayam Tentang order-lukisan Pertamina, “maecenas”-isme, kebebasan, dan sebagainya itu… katalog pameran Seni:pesanan, kurator Hafiz, DKJ, p 43
2. Baca lebih lanjut dalam katalog pameran Next Candidates, AJBS Surabaya.
3. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Korban Ideologi Langsing dalam buku Kajian Budaya Feminis. Yogyakarta:Jalasutra. Pp, 390-394
Label:
KURATORIAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar