Pernahkah kita memperhatikan dalam suatu rumpun bambu. Tumbuh yang namanya rebung, enak buat makanan oleh masyarakat. Muncul juga bambu setelah rebung menjadi dewasa yang enak buat dinding rumah.
Kita dapat melihat perubahan nilai antara rebung dan bambu.
Bagitu juga titik-titik perubahan estetika ranah seni rupa menghancurkan nilai lama dan memunculkan nilai baru (subversif)
, misalnya S. Sudjojono dan kawan-kawan (persagi) nilai lama yang dibawa mooi indiĆ«, lalu Gerakan Seni Rupa Baru juga demikian. Seolah-olah mengatakan “seni rupa itu bukan begitu tapi begeni” dengan meagung-agungkan apa yang diyakininya dengan berbagai dalil.
Pastinya, yang baru tidak akan muncul karena ada yang lama.
Proses demikian akan terus berlanjut dengan berbagai alasan selama masih ada seniman, sesuai dengan perkembangan dunia kesenian itu sendiri.
Cristoper Cook berangkat ke timur (Inda dan Jepang) dengan alasan kebuntuan kreatifitasnya karena merasa yang dikerjakan pada lukisan merupakan pengulangan-pengulangan yang pernah dia kerjakan sebelumnya, sehingga selama dalam perjalanannya dia mampu menemukan bentuk kreatifitas artistik-estetik baru bagi dia.
Kratifitas-lah yang mampu menemukan wujud-wujud baru tersebut, tentunya ditangan seniman yang selalu kreatif mengeksplorasi kekaryaannya. Eksploratif mencitrakan maksud perupa berupaya melakukan penggalian dengan berbagai kemungkinan, mengasah kepekaan dan sikap kritis terhadap situasi, serta selalu memotivasi dirinya untuk selalu berpikir dan bertindak dengan upaya kreatif.
***
Mengamati agen-agen yang selalu memberikan sumbangsih perkembangan estetisk-artistik selalu dalam usia muda.
Betapa mudanya S. Sudjojono bersama persagi melakukan subversif terhadap mooi indie, apa lagi GSRB yang beranggotakan seniman muda dalam aksi desember hitam kala itu.
Namun setelah menemukan sesuatu pergerakan kreatif mereka bersifat involutif, yaitu keadaan yang seolah-olah melakukan pergulatan tetapi tetap berkelindan dan berputar-putar di tempat, tanpa banyak memproduksi perkembangan serta pencapaian artistik-estetik baru.
Sikap demikian yang menjadi asumsi para perupa muda tidak lagi “memitoskan” atau setidaknya mengacu kepada perupa-perupa senior sebelumnya, hal ini dicermati merebaknya upaya pencarian parameter atau alat ukur artistik-estetik oleh perupa muda.
Sehingga membuka peluang persentuhan perupa dengan perkembangan seni rupa diluar lingkungannya sendiri, hal ini juga berhubungan dengan kemampuan perupa menghargai setiap informasi dari mana saja, ditambah lagi dengan kemajuan dunia teknologi sehingga informasi di mana saja dapat diakses di kamar memalui dunia virtual.
Persentuhan dengan teknologi informasi dan kepekaan perupa mengamati perkembangan artistik-estetik di mana saja, menjadi alat bantu terhadap perkembangan kreatif hingga memungkinkan munculnya kebutuhan terhadap hubungan atau kerjasama (link) secara personal maupun komunitas untuk selalu berbagi informasi.
Dalam mengeksekusi karya perupa (muda) kita seringkali tergagap dikala berhadapan atau tidak sama sekali dengan tema tertentu, sehingga berupaya mengumpulkan berbagai informasi dan referensi subyek-subyek artifisial yang menarik, sekiranya dapat mempresentasikan kegelisahan sesaatnya dalam serangkain proses kreatif, dari subyek-subyek paling sederhana hingga paling terumit atau sebaliknya.
Bukan berarti seluruh seniman kita saat ini mengolah kreatifitasnya demikian, ternyata setelah dicermati ada kecendrungan beberapa perupa dengan kesadaran yang mendasar melakukan kajian-kajian spesifik pada subyek matter yang mewakili proses kreatifnya. Kemudian menjadikan kajian-kajian tersebut sebagai batu pijakan guna mengonstruksi kerja kreatifnya dengan kecanggihan teknis serta kejeniusan menaklukan media ekspresi.
***
Memang satu rumpun padi tidak semuanya yang akan jadi beras, merupakan hal wajar perupa kita ada yang tergagap dan ada yang mampu mengatasi kegagapan tersebut dengan melakukan kajian-kajian secara spesifik terhadap apa yang dihadapinya.
Beberapa perupa kita setidaknya telah berusaha mencoba menyikapi persoalan kreatif terhadap pencapaian artistik maupun estetik yang beragam saat ini.
Kita lihat saja, Rudi “laho” Hendriatno bagaimana hakekat patung (kinetik) diobrak-abrik oleh dia, maksudnya bukan menanggalkan status dari patung itu sendiri. Dia menggunakan kayu sebagai media, patung tersebut mampu bergerak dan digerakkan, namun ketika dipajang/pameran patung tersebut tetap diam jika tidak digerakan oleh audiens.
Laho telah meyakinkan bahwa patung yang biasanya diam ternyata bisa dibuat bergerak, dan bahwa patung (kinetik) yang biasa dibuat bergerak ternyata ditangannya mampu untuk diam.
Nilai patung sebagai tontonan pada beberapa pameran kinetik art perupa seakan memaksa terjadinya interaksi antara karya dengan penonton, sehingga karya patung tersebut kehilangan jati diri sebagai barang tontonan, bahkan keunikan/artistik wujud dan berbahasa terlalu fulgar.
Laho menghadirkan patung yang bisa berinteraksi tanpa kehilangan jati diri patung tersebut. Oleh sebab itu, material kayu menjadi pilihan yang sangat tepat dalam penyampaian gagasannya.
***
Afdal juga mengalami keresahan terhadap material yang digunakan pada karya patung, dengan cara menggunakan material yang akrab digunakan pada seni instalasi, seperti kabel, dakron, sterofom, dsb. Trien Avriza mengekplorasi keramik guna menjawab keresahannya terhadap konvensi yang telah ada sebelumnya. Novria Doni Fitri menyatakan bahwa pemotretan biasanya banyak mengeksplorasi (benda, hewan, manusia, alam atau gabungan diantaranya). Jarang sekali fotografer melihat “dirinya sendiri” dengan kamera yang sering digunakannya.
***
Ketika muncul lukisan tidak difugura/bingkai tampaknya ada semacam kesepakatan yang harus diikuti oleh perupa kita, Banyak cara yang dilakukan; ada beberapa perupa memberi obyek sampai samping lukisan tersebut (bingkai semu), ada yang menambah ketebalan spanram kemudian ditutupi dengan kanvas.
Desrat Fianda muncul dengan mengksplorasi bingkai tersebut menjadi obyek lukisannya tanpa sepakat untuk melepaskan figura dari karyanya, ada bingkai yang ditarik atau ditekan keluar dari kanvas bahkan membentuk benda lain seperti pita pada kado, sehingga lukisan yang dikenal sebagai karya dua dimensional menjadi karya semi tiga dimensional.Serta posisi bingkai biasanya sebagai pelengkap lukisan telah diubah menjadi obyek utamanya.
Lain lagi ceritanya dengan Taufik, dia tetap mengolah kanvas sebagai media ekspresinya. Namun obyek utama yang ditampilkan hilang dari kanvasnya, yang tinggal hanya background dari lukisan tersebut.
Terdapat ketidak inginan Taufik untuk mengikuti kesepakatan pengolahan obyek utama yang digarap secara detail oleh para perupa sebelumnya. Dia ingin menyatakan pada setiap karyanya bahwa “aku tidak mau ikut-ikutan dengan kalian”.
***
Seniman muda lainnya adalah Erianto, mencermati karyanya terdapat ketidak sesuaiannya bahwa lukisan harus dipajang pada dinding, malahan dia berusaha lukisannya bisa ditarok di lantai bukan saja di tembok.
Lebih menariknya lukisan yang biasa dilihat pada satu sisi saja (dua dimensi) dia sodorkan pada kita untuk melihat dari samping juga (multi-surface) atau menjadi tiga dimensi.
***
Karya Erianto didisplay bukan hanya pada dinding atau tembok, dalam pameran
di Inkubator Jakarta, 26 Maret 2011.
Sumber foto: Penulis
Pada dasarnya mereka sama-sama memberi porsi yang lebih terhadap sesuatu yang dibilang “kreatif” dalam mengeksekusi karya mereka, baik artistik maupun estetik. Dalam menanggapi persoalan-persoalan, baik konvensi-konvensi dalam ranah kesenian maupun di luar ranah tersebut.
Saya perlu menggaris bawahi bahwa mereka tidak mau ikut dengan kesepakatan atau nilai-nilai yang telah dibuat oleh pendahulunya.
Bagaimana dengan kita, mau ikut apa tidak dengan ketetapan atau nilai-nilai yang telah ada?
Serta pembahasan tentang mereka dan karyanya dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan pada kesempatan lain.
***
A.R. Makoginta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar