Sabtu, 25 Agustus 2012

Museum dan Ketakutan Kehilangan Artefak Seni Rupa

http://padang-today.com/feed?mod=artikel&today=detil&id=314

Besar Hendak Menindih

oleh : Anton Rais Makoginta

Menyontoh apa yang dikerjakan ibu sangat wajar bagi bayi yang baru lahir, kadang kala setelah dewasa bisa jadi berbeda ataupun malahan [mungkin] sama dengan ibunya. Dan sangat mengherankan jika orang di generasi berbeda (Ibu-Anak) bisa persis sama di zaman yang berbeda pula. Begitu juga ketika kita memasuki “dunia baru” lainnya. Senirupa misalnya, awal-awal mengenal senirupa menyontoh sang guru serta seniman lainnya saya rasa sangat wajar, setelah dijalani beberapa tahun masih menyontoh berarti ada yang salah dengan perkembangan kesenian seniman tersebut.
Untuk itu saya sedikit melacak jejak perkembangan seniman perempuan selama ini, saya melihat ada kecenderungan mengikuti arus pemikiran fenomena feminist. Jenny Saville (b;1970) salah satunya sebagai perupa portraiture perempuan, mengaji tubuh berdasarkan pandangan feminist dengan penggambaran tubuh perempuan yang “dirusak” sehingga menimbulkan kesan jijik atau menakutkan. Walaupun kerjanya kurang lebih sama dengan Cindy Sherman (b;1954)—secara konsep—lebih dahulu dari Saville. This may in part be a feminist phenomenon, a reaction againts centuries of painting the female nude by men for the delection of other men. Obesity is the shock tactic she uses to force viewers into an examination of convetional notions of female beauty. Concepts relating to desired streotypes of the female beauty… [1]
Serta jejak seniman dan sastrawati [perempuan] di Indonesia tetap berdasarkan perspektif perempuan juga (persoalan gender); Nh. Dini, Djenar Mahesa Ayu, Tita Rubi, I G K Murniasih, Arahmaini , Bunga Jeruk, Laksmi Shitaresmi, dan masih banyak perempuan lainnya. Seniman tersebut ada yang masih berlanjut sampai sekarang membahas gender serta ada pula dalam bentuk lain.
Fika Ria Santika (panggil--Pika), mencoba untuk tidak mengikuti arus yang telah dibentuk oleh seniman perempuan [gender] sebelumnya. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi saya, apakah dia hanya sekedar tidak mau mengikuti arus utama (mainstream) bikinan seniman perempuan sebelumnya? Atau ada faktor lain yang membuat dia tidak ingin berbicara perihal gender dari perspektif dia sebagai perempuan?
Ada perlunya kita mengenal Pika terlebih dahulu, guna mencari faktor yang membuat dia tidak ikut larut dalam persoalan gender tersebut dan nantinya turut membentuk pemikiran serta strategi visual karyanya. Pika dua tahun belakangan ini berkarya di Jogja (sambil kuliah di ISI), dulunya lahir dan besar di Minangkabau, saya mengetahui di sana kebudayaan dengan sistem matriakat telah menyatu dengan kedatangan beberapa agama yang berdasarkan patriakat, terakhir agama Islam yang mampu selaras dengan kebudayaan setempat [dialami oleh Pika].
Jadi kebudayaan dan agamanya telah membentuk kesetaraan (equality) gender di sana, dengan kata lain dia tidak mengalami perlakuan-perlakuan terhadap perempuan seperti umumnya perempuan [saya sebutkan sebelumnya] yang besar dalam kebudayaan patriakat dan agama patriakat juga. Dia pernah bercerita pada saya: pernah melihat laki-laki bekerja di dapur [bukti—rumah masakan Padang yang memasak adalah laki-laki—tentunya belajar di rumah dahulu], melihat ibuk-ibuk membawa cangkul pergi ke sawah, mengetahui seorang perempuan jadi pemimpin perang melawan penjajah [Rasuna Said], pernah membaca tentang seniman perempuan patung pertama [Huriah Adam--karyanya monumen di kota Bukittinggi], dia ikut mendaki gunung bersama teman laki-lakinya dengan sepengetahuan orang di sekitarnya. Intinya, dia menyadari kodrat perempuan bukan hasil dari streotipe-streotipe bentukan kaum-kaum patriakat dan tidak pernah merasa/mengalami “ketersudutan’ karena jenis kelaminnya.


Karena Pika tumbuh /besar di wilayah yang telah terbentuk equality gender sejak sebelum RA Kartini muncul inilah yang membuat dia merasa tidak ada kepentingannya membicarakan persoalan gender lagi, bukan hanya sekedar tidak mau mengikuti arus seniman perempuan lainnya. Selain dia telah merasa tidak ada kepentingannya terhadap isu feminist (sosio-cultural). Agamapun juga bukan, karena dia merasa dalam agamanya siapa yang tidak mengerti kepintaran Muhammad SAW—jauh lebih cerdas dari Pika, ketidak pentingannya muncul lagi.
Kendati demikian, apakah sebagai seniman dalam pemilihan konsep berkarya harus yang dialami saja? Tentu tidak, banyak seniman selain hal empirikal juga berdasarkan ketertarikan terhadap suatu fenomena tertentu--empati, dan berbagai macam banyak alasannya, tak terkecuali seniman-seniman saya sebutkan sebelumnya. Sebagai misal lain, Andy Warhol, however art critics rightly see deeper meaning in Warhol’s work. In many respects this art can tell us more about the psychological satate of society of mass media and mass production than any amount of socoliogical research.[2] Dia lebih melihat kondisi psycologis masyarakat serta penggambaran bagaimana mass media memproduksi imej-imej, dengan power of repetition mengungkapkan tangannya bisa juga bekerja seperti mesin-mesin mass media tersebut. Contoh lainnya, setiap negara yang terjajah perkembangan senirupa modernnya dimulai dengan issue-issue Nasionalisme, termasuk Indonesia.
Semuanya menutut kecerdasan dan kemampuan seniman untuk memilih—apalagi seniman saat ini yang hidup pada masa ‘sisa-sisa’ moyangnya…
***
Bagaimana dengan pilihan Pika?
Pengalaman hidupnya turut membentuk dia untuk memilih, hidup dari sistem kebudayaan matriakat yang minoritas di dunia, pilihan musik yang minoritas. Ketika teman-teman seumuranya memilih mendengarkan Lady Gaga, dia malah mendengarkan Bjork, lebih memilih Frau daripada melly Guslow, apalagi Efek Rumah Kaca ketika Samsons booming, begitu seterusnya. Hal-hal ini jugalah yang membuat dia tidak tertarik pada suatu yang ideal (baca-mainstream).
Saya memilih keadaan tidak ideal dalam landasan pemikiran, karena hal-hal ideal telah ‘menjajah’ yang tidak ideal dan sering dianggap tidak penting (besar hendak menindih). Pada dasarnya cap tersebut cuma bentukan manusia. (Pika)[3]
Fight or Flight--Hadapi atau kabur, reaksi ini yang saya rasa cocok dengan pilihan Pika. ketika lukisan telah menjadi ‘mainstream’ dalam senirupa, dia menghadapi (counter) dengan lukisan tidak memilih (kabur) dengan media lain, di sisi lain video art (new media) sudah mulai menjamur dia juga berbicara melalui video tersebut. Saat ini jika kita melacak kecendrungan seniman Indonesia menggunakan pengucapan realis dia tidak meninggalkan kemampuan ‘realisnya’. Juga, bahasa non-representatif dia juga menggunakannya. Pengucapan tersebutlah yang dikombinasikan dalam karyanya.
Terserah apa pilihan medium seniman yang terpenting konsepnya bisa tertuang. Jika dikatakan lukisan dibuat oleh seniman “penghibur dunia” atau seniman “selebritas”, lukisan tidak kontemporer—tapi kok ada lukisan kontemporer (kata-kata ini sering muncul setiap diskusi senirupa di tanah air—terbaru di IVAA). Mungkin kita tidak cocok mengatakan; seniman penghibur, selebritas, tidak kontemporer dengan alasan pilihan medium, karena senirupa bukan hanya perkara medium tapi juga perkara otak (pikiran)[4]
***
Saya tidak akan menjelaskan Melankolia lagi, karena istilah ini telah digunakan sejak zaman Yunani Kuno dan telah mengalami perkembangan pengertian dan penggunaannya sampai sekarang. Dan telah banyak juga seniman memakai dalam judul karya rupa, ataupun musik. Intinya, bagi Pika istilah itu digunakan sebagai hal yang tidak ideal.
Kita bisa melihat melalui project Melankolia ini bahwa dia merepresentasikan persoalan personal yang juga secara tidak langsung bisa ditarik pada fenomena kesenian, agama, fasyen, kebudayaan, mass media, dlsb. Intinya, dia berangkat dari hal yang dialami secara personal dan orang sekitar yang mampu dia tarik pada dirinya.
Pemakaian figur perempuan pada karyanya bukan persoalan “gender” seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, namun hal yang paling dekat dengan dia dan tidak menutup pada kita membaca dari berbagai perspektif, serta perwakilan dari keadaan ideal. Sementara coretan—ekspresif menandakan perlawanan terhadap keadaan yang ideal tersebut. Ini dapat terlihat pada setiap lukisannya.
Serta pemakaian bunga-bunga, tidak mewakili satu jenis bunga, tetapi meminjam sebagai penanda rasa. Jika bunga pada umumnya merupakan ungkapan kebahagian, sedikit sebagai ungkapan belasungkawa (kehilangan). Pilihan Pika tentu selalu pada minoritas.
Berbeda lagi dengan karya berjudul “Melankolia”, video—stop motion. Pemakaian video merupakan sebuah pengakuannya yang tidak berlatar belakang video juga mampu membuat video, begitu juga dengan kecendrungan masyarakat pada umumnya—seberapa banyak masyarakat umum terkenal melalui video (baca—youtube), begitu banyak Da’i-da’i kondang melalui mass media. Ditampilkan lebih dari 1 layar dengan waktu mulai yang berbeda, menandakan begitu gampangnya masyarakat umum mengakses video yang sama dalam tempo yang berbeda-beda. Namun hal utama ‘perfeksi’ lukisnya masih kelihatan dalam video tersebut.
Sekali lagi, mengamati pameran ini, kita tidak akan dijebak oleh Pika untuk masuk dalam masalah-masalah personalnya, namun kita ditantang untuk melihat variabel-variabel lain. Yaitu dalam setiap keadaan ideal pasti ada juga keadaan non ideal yang tidak kalah pentingnya juga. Kemana pun kita mau memposisikan keadaan tersebut.





[1] Robin Gibson, Painting The Century: 101 portrait masterpieces 1900-2000, p.252
[2] Anna C. Krausse, The Story of Painting: From Renaissance To The Present, p.116
[3] Diskusi saya dengan Fika Ria Santika, sejak 5 tahun belakangan
[4] Ibid, Diskusi

FAT REALITY: Brutal tapi Rapi

FAT REALITY: Brutal tapi Rapi

oleh : Anton Rais Makoginta

Jogja-Jakarta tahun 2011 lalu Wahyuddin Nafilah Dias Prabu [panggil—Dias] mempresentasikan karya dalam project “So Fat So Good”, seluruh karyanya dipenuhi dengan figur-figur gendut. Tahun sekarang dia kembali mengetengahkan figur gendut, dikemas dalam pameran “Realita Figur Gendut”.
Kok saya merasa dia begitu “ngeyel” mempertahankan figur tersebut, sama ngototnya ketika dia mengatakan “so good” bagi tubuh gendut pada pameran nan lalu. Masih adakah hal yang penting ingin dia sampaikan?
Namun membaca dari judul pamerannya sekarang, dia menambahkan realita-realita yang dibangun melalui realitas sebenarnya ataupun berdasarkan imajinasinya. Ada hal-hal yang tidak begitu subjektif dia kembangkan di sini, yaitu atas penangkapan realita sebenarnya. Saya pikir keobjektifan ini lah nilai penting melaksanakan pameran tersebut.
Nah, itu baru pembeda dengan pameran sebelumnya, tapi saya akan mencari lagi hubungannya [pembeda] dengan seniman terdahulu yang telah menggunakan figur gendut. “Two Women Running Along the Bach” 1922, salah satu karya Pablo Picasso menggunakan figur gendut. Picasso's faintly coloured women running along the beach which, in their stylisation, recall Ingres or even the early art of Greece, despite this same stylisation and despite their apparently spaceless surroundings, look extremely physical and lively.[1]
Beberapa seniman dari Jerman; Heinrich Hoerle melalui karya “The Contemporaries” 1931, Richard Linder “The Meeting” 1953[MoMA]. Mereka menggunakan figur-figur gendut yang telah distilisasi, masih ada seniman lainnya. Namun, yang intens dari awal-awal perjalanan berkarya adalah Fernando Botero (b, Medellin Colombia,1932).
Why does Botero paint fat people? "No, I don't paint fat people", itulah jawaban Botero sendiri, karena dia bukan seniman realis tapi figuratif; “Botero is a figurative painter, but not a realistic one. His pictures are geared to reality, but do not depict it. Everything in his pictures is voluminous; the banana, the light bulb, the palm tree, the animals, and of course men and women. Botero is not concerned to paint particular things, for example fat men or fat women, but rather to use transformation or deformation as means of transforming reality into art”[2]
Jika pertanyaan ditujukan terhadap Dias tentu jawabannya “ yes, I do paint fat people”. Jelas ada perbedaan yang signifikan antara seniman terdahulu dengan Dias yang memang sama mendeformasi bentuk, akan tetapi dia mengambil realita dari tubuh gendut serta membangun realita-realita baru berdasarkan imajinasinya sebagai tubuh gendut sendiri.
***
Secara artistik sangat jauh berbeda lagi, pada karya Dias menggunakan warna-warni, semacam warna yang dipakai oleh seniman pop-art atau lebih tepatnya warna yang sering menghiasi seniman pop-surealisme, merupakan pergerakan seni underground yang sering disebut dengan “Lowbrow Art”. Pergerakan ini diprakarsai oleh Robert William—melalui majalahnya Juxtapoz 1994 publis pertama di Amerika.
Pop-surealisme, penggabungan dua aliran yang pernah ada sebelumnya, yaitu pop art dan surealisme. Pop art sering disebut juga dengan “neo dada”, artinya mengusung konsep ready made. Sementara surealisme melalui penekanan dari Sigmund Freud “the dream world became extremely important to the surrealists[3]. Penggunaan ready made dan alam mimpi sangat penting bagi seni lowbrow, dengan kata lain adanya narasi dengan benda keseharian berdasarkan realita maupun imaji realita.
Tak dapaat kita sangkal juga kebiasaan ataupun keharusan seniman lowbrow membawa cerita berkenaan atas pandangannya terhadap masyarakat, sering merupakan kritikal untuk politik, sosial, agama, kebudayaan, fesyen, dlsb.
Saya lebih menekankan pada sisi sosial yang terjadi pada masyarakat baik di Indonesia, maupun fenomena sosial yang terjadi di dunia. Tema yang dihadirkan lebih terfokus dengan masalah sosial yang kadang sering terjadi di sekeliling kita, namun jarang diperhatikan. Beberapa contohnya ialah, tema percintaan anak muda pada masa kini, kemudian mengenai masalah figur gendut yang tak bisa membendung hasrat untuk selalu makan melebihi takaran normal.(Dias)[4].
Dias me-elaborasi figur-figur gendut dengan konteks sosial secara satirikal, lucu, kritikal, sadis ataupun sinis. Baik hubungan antara figur dengan figur lainnya serta figur dengan narasi secara keseluruhan.
***
Over Weight’ merupakan cara penyampaian dengan jenaka, kita dapat melihatnya dari monster-monster yang keluar dari tubuh. Namun mengandung satirikal terhadap tubuh itu sendiri, tubuh yang tidak mau mengerti atau tak peduli akan efek beberapa jenis makanan—dalam hal ini “junkfood”. Terlihat bagaimana Dias mengejawantahkan realita sesungguhnya serta mengkonstruksi sebuah realita atas kegemukan seseorang yang bisa kita katakan obesitas.

Realita pola hidup masyarakat [kita] kontemporer menjadi wilayah yang mengundang reaksi-reaksi kritis -- terutama dari seniman lowbrow. Pola-pola yang mengkonsumsi tanpa memikirkan manfaat beserta kemungkinan terburuk yang akan diterima.
Memang sudah ada beberapa kajian dari orang-orang terdahulu, misalnya Baudrillard. Kendati demikian, pembangunan realita baru dengan penyampaian jenaka Dias menjadi hal yang penting di sini. Estetika timur[?] muncul – orang dicaci tapi senang – orang dicuri tapi tidak merasa kehilangan – “brutal tapi rapi”.
‘Forever Rich’ kita bisa melihat beberapa figur telah dibungkus dengan kain putih, bagaikan kebiasaan sebagian masyarakat mengawetkan tubuh dalam peti jenazah—lengkap dengan berbagai aksesoris atau tanda hak miliknya. Melalui karya ini Dias mencoba masuk pada wilayah kebiasaan suatu budaya/agama tertentu.

Namun tunggu dulu! Jangan terlalu cepat percaya atas kesimpulan yang saya buat.
Tadi kita telah menangkap bahwa seni lowbrow kadangkala menyampaikan secara satirikal—termasuk Dias. Bisa saja itu merupakan kiasan bagi masyarakat yang bertubuh gemuk, ketika menyadari kelebihan dari kondisi tubuhnya. Misalnya, seorang sumo, ataupun model yang menuntut tubuh gemuk. Artinya kegemukan tersebut bisa dibawa ke arah yang bermanfaat. Dalam hal ini Dias memberikan tawaran-tawaran pada kita untuk membangun realita kebertubuhan sesuai dengan porsi masing-masing.
Mencermati  dan mengamati pameran Dias ini, kita bukan hanya melihat kemampuan teknis membentuk komposisi artistik yang berkemungkinan kita tangkap; ada semacam kelucuan, kengerian atau perasaan apapun yang timbul. Hal yang penting kemampuan seniman mengeksplorasi kesingkronan antara karya dengan masyarakat [kultur-sosial] sekarang. Pengungkapan realita masyarakat dalam karya seni rupa, serta membuat suatu realita berdasarkan imajinasi seniman yang sesuai dengan spirit kita bersama.
Saya [mudah-mudahan kita] menunggu pengungkapan realita Dias dalam bentuk artistik yang lain nantinya.



[1] Anna C. Krausse, The Story Of Painting from the renaissance to the present: Pablo Picasso, Konemann:Germany, pp.92-93
[2] Mariana Hanstein, Botero, Taschen:Amerika, p.49
[3] Anna C. Krausse, ibid, p.101
[4] Terdapat dalam rancangan laporan tugas akhir Dias Prabu, mengenai tema karya.

Pengawal yang Harus Dikawal

http://indonesiaartnews.or.id

Kamal Guci


Oleh  Anton Rais Makoginta

Saat ratusan seniman di Jogja terlibat dalam presentasi karya di Jogja Nasional Museum (JNM) dalam perhelatan pameran Negari Ngayogyakarta 13-27 Apiril 2012. Mendadak hadir seorang seniman menyodorkan  sebuah cerita  negari Minangkabau di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) 22-29 April 2012, seorang seniman yang berkarya di Sumatra Barat beliau adalah Kamal Guci. Berbeda dengan pameran di JNM yang bercerita tentang kepahlawanan HB IX dan kontribusi Yogyakarta bagi bangsa Indonesia[1], Kamal malahan membawa cerita-cerita (kaba) tragedi kebudayaan Minangkabau saat ini melalui lukisan yang dipamerkannya dalam pameran “Kaba dari Ranah” tersebut, walaupun menurut saya sendiri masih ada cerita lain yang dibawa oleh beliau.

Hafal Kaji Harus Diulang

http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=321

Oleh : Anton Rais Makoginta

Salah satu hal yang menarik di Jogjakarta saat ini, adalah selain meningkatnya kesibukan arus lalu-lintas setiap harinya, juga padatnya kegiatan kesenian, kita  bisa saja melihat keadaan tersebut pada titik 0 km. Beberapa hari nan lalu Aksi Budaya untuk Indonesia Bhinneka dilaksanakan di sana oleh beberapa orang seniman (jelasnya, orang yang mengerti kebudayaan), bulan Juni

Total Tayangan Halaman