Sabtu, 23 April 2011

Keseimbangan

oleh : Anton Rais Makoginta

“Seimbang” secara leksikal berarti...
Maaf, tidak perlu saya lanjutkan, karena kalimat ini sering kita gunakan dengan pemahaman kita masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Dan tulisan ini tidak berniat meneruskan kebiasaan seorang mahasiswa seni rupa yang akan melakukan ujian skripsi: sibuk mengumpulkan rujukan dari pelosok-pelosok pustaka, dari kamus istilah, sehingga tampak keren, akademis tapi pada akhirnya cuma membuat saya memahami utara, sementara seniman yang berpameran memahami selatan.

Saya hanya ingin menyampaikan serba sedikit apa yang dipahami oleh para seniman ini tentang alasan di balik kerja dan karya mereka. Untuk itu saya tidak berusaha menjelaskan sebelumnya berdasarkan rujukan-rujukan, akan tetapi berdasarkan cuplikan percakapan saya dengan ketiga seniman yang berpameran kali ini. Pameran ini berawal dari rencana Enin Supriyanto dan Jumaldi Alfi untuk menampilkan karya-karya: Andre Risa Putra, Ricky Wahyudi dan Rully Rahim. Enin pertama kali menyaksikan karya-karya mereka saat pameran besar Sanggar Sakato—kini resmi bernama Komunitas Seni Sakato—yang bertajuk “Bakaba” di Jogja National Museum, Jogjakarta, tahun 2010 lalu.
Dia menyampaikan kepada saya, kurang lebih seperti ini: “Tidak ada cara lebih baik untuk menguji apakah kalian bisa berenang atau tidak, kecuali dengan menyeburkan kalian ke kolam.”
Begitulah. Tiga perupa ini, dan saya, harus menghadapi tantangan baru dan nyata. Saya harus menulis pengantar untuk pameran ini, dan sedikit banyak harus mulai menerka-nerka apa pula tanggungjawab saya sebagai “kurator”; sementara tiga rekan saya, para perupa, harus meyakin-yakinkan diri mereka bahwa karya mereka layak untuk Anda apresiasi.
Maka, tidak ada cara lain, saya perlu bertandang dan mulai bercakap-cakap dengan ketiga perupa ini. Dan, saya kira, ini adalah cara yang paling mudah dan masih relevan untuk mencoba memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan dan inginkan dengan mencipta lukisan-lukisan, yang kini tampil di ruang pameran ini.
***
Saya beretemu dengan Andre Risa Putra di dalam studionya sekaligus tempat tinggalnya. Dia mulai sibuk menjejerkan karya berfigur manusia di depan kami.
Timbullah pertanyaan apa yang membuat Andre tertarik untuk memilih figur menjadi objek dalam lukisannya?
“Ini tidak lain karena figur tersebut dapat mewakilkan perasaan saya dalam menjalani hidup beberapa tahun sekarang”. Lantas perasaan apa yang terwakilkan oleh figur tersebut? “Ya, perasaan personal. Lihat tuh... Figur yang menggambarkan ketidak sanggupan saya untuk berbuat apa-apa kecuali dengan membenamkan kepala pada benda yang ada di dekat saya akibat dari sebuah peristiwa yang saya lalui waktu itu. Tak berbeda dengan peristiwa yang membuat perasaan saya menjadi tidak seimbang kembali muncul sehingga saya larut dalam kekosongan. Sebenarnya rentetan peristiwanya berawal dari karya saya Tomboy (2010), yang menampilkan figur wanita yang mengakibatkan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi”.
Saya melihat lukisan kamu pada tahun yang sama tidak semuanya berfigur, apakah yang tanpa figur tersebut tidak dapat mewakilkan perasaan kamu?
“Benar. Saya bukan seniman yang terpaut pada metode atau term-term tertentu dalam melukis, tapi saat ini yang lebih intens saya olah adalah figur-figur. Yang terpenting: selama hal itu dapat mewakilkan perasaan saya”.
Tampaknya bagi kamu melukis merupakan semacam cara mencari jalan keluar permasalahan-permasalahan yang kamu hadapi, peduli itu berfigur, tidak berfigur?
“Itulah... Ketika saya mengalami yang membuat perasaan saya tidak seimbang maka dengan melukislah saya mengomposisikan kembali perasaan tersebut”.
***
Ricky Wahyudi beberapa tahun belakangan ini sibuk mengeksplorasi bentuk-bentuk kota. Bukan berarti dia mencoba menggambarkan persoalan kesemrawutan kota dengan setiap permasalahannya.
Baiknya kita simak apa yang melatarbelakangi pilhan Ricky tersebut.
“Sebagai masing-masing individu kita hidup tentu mempunyai tujuan serta cara bagi kita untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Bagi saya untuk mencapai tujuan tersebut membutuhkan sebuah pedoman dalam menjalaninya, supaya walaupun dalam keadaan gelap sekalipun, masih ada cahaya menjadi pedoman tersebut.”
Mengapa kok kota yang dipilih?
“Kegelapan yang saya maksud adalah kegelapan dalam menjalani hidup ditengah perkembangan hidup ini. Saya pernah tinggal di kota besar sampai tahun 2007. Tapi saya tidak pernah tinggal dalam sebuah ruangan yang tertutup”.
Mengapa tidak memilih kota mana yang akan dikerjakan, misalnya kota yang pernah didiami dulu?
“Tidak, karena saya bukan menceritakan persoalan-persoalan yang terdapat dalam kota tersebut.”
Rupanya, dia menjadikan kota, kegelapan, dan cahaya warna-warni yang muncul dari kegelapan sebagai semacam metafor bagi pengalaman hidup pribadinya, sekaligus sebagai acuannya untuk menjalani hidup.
***
Awalnya, saya kira Rully Rahim berlatar belakang pendidikan kriya karena ia sibuk menggambarkan berbagai motif ragam hias pada kanvasnya. Rupanya ini tebakan yang keliru.
Di banyak karyanya dia memakai motif, atau ragam hias yang telah saya kenal dengan nama “kaluak paku kacang balimbiang”. Ini motif yang banyak dipakai dalam tradisi hias-menghias di masyarakat Minangkabau. Menurut tradisi pula, ragam hias bersulur-sulur itu dinyatakan sebagai simbolisasi ajaran tentang menjaga keseimbangan antara rasa dan periksa dalam dalam hidup bermasyarakat. Kalau diperjelas lagi, merujuk pada tradisi petatah-petitih Minangkabau, ajaran yang terdapat dalam motif tersebut adalah: anak dipangku keponakan dibimbing, orang kampung ditenggangkan, setiap permasalahan perlu ditenggang dengan rasa dan periksa (logika).
Apa pula pertimbangan Rully memilih ragam hias ini sampai tampil berlarut-larut dalam kanvas-kanvasnya?
Ia menjelaskan: “Bagi saya, di manapun kita hidup kalau masih tetap menjaga konsep keseimbangan dengan menggunakan rasa dan logika tidak akan dikucilkan oleh orang lain, saling tenggang rasa, saling menghargai, saling menghormati, baik bagi saya elok bagi orang lain”.
Kalau begitu mengapa Rully tidak menatah atau menyulam untuk menyampaikan ajaran-ajaran tersebut?
“Nah itu dia... Saya pakai bahasa dan teknik lukisan, karena saya lebih leluasa untuk berekspresi, serta menggabung-gabungkan motif-motif tentang keseimbangan dari daerah lain. Malahan, saya juga sampai mendeformasi motif-motif tersebut”.
***
Demikianlah, ketiga seniman ini mempersoalkan perkara “keseimbangan”, dengan cara dan sikap yang berbeda-beda. Seberapa berhasil mereka (dan saya) dalam upaya pertama kami mempersembahkan karya-karya ini kepada Anda? Ini rupanya akan terpulang banyak pada kami juga: kami baru beranjak dan mencoba memahami “keseimbangan”. Semoga ini bisa jadi jaminan bagi kemampuan dan keselamtan kami untuk “berenang” mengarungi laut luas pergulatan seni rupa masa kini di Indonesia. Selebihnya, apresiasi Anda, akan jadi pelajaran yang paling berharga bagi kami. Sebanyak-banyak yang bisa dipersembahkan seorang seniman bagi publik, saya percaya, lebih banyak pula yang perlu dan pantas ia timba dari tanggapan dan penerimaan publik atas karya-karyanya.

2 komentar:

Total Tayangan Halaman